RUU KUHAP, Ancaman Otoritarianisme atau Reformasi Hukum yang Dibutuhkan?

Halo, Teman Eksam!

Sejumlah lembaga dalam Koalisi Masyarakat Sipil menyampaikan kritik serius terkait draf RUU KUHAP versi Maret 2025. Mereka menilai bahwa rancangan tersebut memuat banyak pasal yang dianggap bermasalah karena berpotensi melemahkan perlindungan terhadap hak warga negara dalam proses hukum.

Menurut koalisi, proses penyusunan dan pembahasan RUU KUHAP berjalan terlalu cepat dan minim keterbukaan publik. Padahal, RUU ini sangat strategis karena akan menjadi fondasi baru hukum acara pidana Indonesia setelah KUHP yang baru resmi berlaku. Karena sifatnya yang mengatur mekanisme penyidikan, penangkapan, penahanan, persidangan, hingga pelaksanaan putusan, perubahan sekecil apa pun akan membawa dampak besar terhadap keadilan dan ruang gerak masyarakat dalam sistem hukum.

Akibat kekhawatiran ini, koalisi kemudian menginisiasi petisi online dan berhasil mengumpulkan ribuan tanda tangan sebagai bentuk penolakan. Mereka menilai bahwa beberapa aturan dalam draf RUU KUHAP berpotensi menimbulkan praktik penyalahgunaan kewenangan, membuka ruang pelanggaran HAM, membatasi hak masyarakat dalam pembelaan hukum, serta memberikan kewenangan yang terlalu besar kepada aparat penegak hukum tanpa kontrol yang memadai.

Dalam pandangan koalisi, revisi KUHAP seharusnya membawa Indonesia ke arah reformasi peradilan pidana yang lebih adil, modern, akuntabel, dan berpihak pada hak asasi manusia — bukan kembali mundur ke era ketika kekuasaan penegak hukum tidak diimbangi mekanisme pengawasan yang transparan dan kuat.


Poin-Poin Krusial RUU KUHAP

Koalisi mencatat setidaknya 9 masalah utama dalam RUU KUHAP yang harus diselesaikan dengan lebih hati-hati. Beberapa poin kritisnya antara lain:

1. Perlindungan Pelapor dan Korban

Koalisi menuntut jaminan bahwa korban atau pelapor bisa mengajukan keberatan jika laporan tindak pidana tidak ditindaklanjuti secara layak.

2. Pengawasan Pengadilan (Judicial Scrutiny)

Mereka minta ada mekanisme pengadilan yang bisa menguji “upaya paksa” (penangkapan, penyitaan, dsb) agar tidak terjadi penyalahgunaan.

3. Pengaturan Tindakan Paksa yang Lebih Adil

Menurut koalisi, harus ada aturan yang lebih ketat tentang kapan aparat boleh menggunakan upaya paksa, misalnya izin pengadilan dan pembatasan kondisi darurat.

4. Hak Alat Bukti dan Pembuktian

Koalisi mengkritik pengaturan alat bukti dalam draf RUU yang mereka nilai terlalu teknis dan bisa membatasi keadilan dalam peradilan.

5. Sidang Digital

Ada kekhawatiran bahwa definisi “keadaan tertentu” untuk sidang elektronik bisa disalahgunakan, sehingga mengurangi nilai pemeriksaan materiil.

6. Transparansi Proses RUU

Koalisi menyatakan bahwa publik belum mendapatkan akses cukup terhadap draft RUU KUHAP dan poin-poin pentingnya.

7. Perlindungan Kelompok Rentan

Menurut koalisi, beberapa hak untuk kelompok rentan (misal penyandang disabilitas) belum diakomodasi dengan layak dalam draf RUU.

8. Kewenangan Penahanan & Penangkapan

Ada pasal yang dikhawatirkan memberikan wewenang besar kepada aparat untuk menahan atau menangkap seseorang tanpa batasan yang jelas.

9. Restorative Justice vs Hak Korban

Koalisi memperingatkan bahwa penggunaan “restorative justice” bisa disalahgunakan untuk menyelesaikan kasus berat tanpa pertanggungjawaban penuh, terutama kasus yang melibatkan penyalahgunaan wewenang.


BACA JUGA: Redenominasi Rupiah Akan Terjadi? Apa Bedanya dengan Sanering yang Pernah Dilakukan Indonesia?

Beberapa Pasal RUU KUHAP yang Kontroversial

Pasal 5 (Penangkapan tanpa dasar investigasi yang jelas)

Dalam pasal ini, seseorang bisa ditahan atau ditangkap meskipun belum ada proses penyelidikan yang memadai. Artinya, aparat dapat menahan seseorang hanya berdasarkan dugaan awal, tanpa standar objektif yang memastikan ada alasan kuat terjadinya tindak pidana. Banyak pihak menilai ketentuan ini membuka ruang penyalahgunaan wewenang karena minim kontrol dan akuntabilitas.

Pasal 90 dan 93 (Penahanan tanpa persetujuan hakim)

Dalam pasal ini, aparat bisa menahan seseorang tanpa harus mendapat izin atau persetujuan dari hakim terlebih dahulu. Kondisi ini dianggap berbahaya karena fungsi hakim sebagai pengawas tindakan penegak hukum menjadi tidak berjalan. Akibatnya, potensi penahanan sewenang-wenang bisa meningkat karena tidak ada mekanisme check and balance sejak awal.

Pasal 105, 112A, dan 132A (Penggeledahan dan penyadapan tanpa izin hakim)

Pasal-pasal ini memberikan kewenangan kepada aparat untuk menggeledah, menyita, dan menyadap komunikasi seseorang tanpa harus mengantongi izin hakim. Aktivitas seperti ini biasanya membutuhkan pemeriksaan dan persetujuan pengadilan karena menyangkut hak privasi warga negara. Tanpa pengawasan ketat, kewenangan ini dikhawatirkan dapat digunakan untuk menekan pihak tertentu secara sepihak.

Pasal 74A dan 79 (Risiko pemerasan dengan dalih restorative justice)

Dalam ketentuan ini, penyelesaian perkara dapat dilakukan melalui mekanisme restorative justice. Namun masalahnya, jika aparat menyalahgunakan kewenangan, seseorang bisa didorong untuk berdamai atau menyelesaikan kasus tanpa proses hukum yang benar. Aktivis HAM menilai celah ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan tekanan, intimidasi, atau bahkan pemerasan terhadap warga yang tidak memiliki posisi tawar.

Pasal 7 dan 8 (Penyidik khusus berada di bawah Polri sehingga kepolisian makin dominan)

RKUHAP memberikan posisi Polri sebagai koordinator semua penyidik khusus. Artinya, lembaga lain yang biasanya punya penyidik sendiri – seperti KPK, Kejaksaan, atau lembaga sektor tertentu – pada akhirnya tunduk pada koordinasi Polri. Hal ini menimbulkan kekhawatiran konsentrasi kekuasaan penegakan hukum hanya di satu institusi, sehingga rawan konflik kepentingan dan melemahkan independensi lembaga lain.

Pasal 99 dan 137A (Minimnya akomodasi bagi penyandang disabilitas dalam proses hukum)

Ketentuan ini tidak memastikan kewajiban negara menyediakan akses dan pendampingan yang layak bagi penyandang disabilitas ketika berhadapan dengan proses hukum. Tanpa dukungan khusus, kelompok disabilitas bisa dirugikan karena mereka tidak memiliki kemampuan atau fasilitas untuk membela diri secara adil. Kritikus menilai hal ini menciptakan sistem peradilan yang diskriminatif dan tidak setara.


Selalu Cek Kebenaran Informasi yang Beredar!

Teman Eksam, penting sekali untuk mengikuti isu RUU KUHAP, bahwa ini bukan sekadar revisi teknis. Ada potensi dampak besar pada hak asasi, sistem peradilan, dan relasi antara warga dengan aparat hukum. Koalisi masyarakat sipil secara konsisten menyuarakan agar pembahasan tidak dipercepat, dan hukumnya dibuat dengan prinsip hak asasi sebagai fondasi utama, bukan sekadar efisiensi proses.

Yuk, temukan lebih banyak panduan praktis untuk belajar, bekerja, dan berkembang bareng Eksam – Teman Belajar Kamu!

Leave a Comment