Halo, Teman Eksam!
Saat belajar di sekolah, kalian pasti penah bertanya, “Ini Pelajaran Gunanya Buat Apa?” Kalimat seperti itu hampir pasti pernah terlintas di kepala kita saat belajar matematika rumit, menghafal undang-undang, atau menyelesaikan soal fisika yang terasa jauh dari kehidupan.
Dan ternyata, Teman Eksam tidak sendirian. Survei global menunjukkan bahwa lebih dari 60% pelajar merasa sekolah tidak menyiapkan mereka untuk dunia nyata. Lalu kenapa ini bisa terjadi?
Sistem Sekolah Masih Mengikuti Kurikulum Lama
Permasalahan terbesar adalah bahwa banyak sistem pendidikan modern masih berdiri di atas landasan kurikulum lama. Pola sekolah hari ini sebagian besar mewarisi struktur dari era revolusi industri, di mana tujuan utama sekolah adalah membentuk pekerja disiplin, terstruktur, patuh pada instruksi, dan siap bekerja dalam sistem pabrik. Di masa itu, siswa tidak dituntut untuk berkreasi ataupun berpikir kritis; yang diinginkan adalah ketaatan dan kemampuan menjalankan perintah.
Karena akar pendidikannya seperti itu, sampai hari ini banyak pelajaran masih terasa kaku dan terlalu fokus pada hafalan. Bukannya mendorong pemahaman kontekstual dan pemecahan masalah, sekolah justru menekankan “benar atau salah” berdasarkan satu jawaban baku. Padahal dunia saat ini berubah jauh lebih cepat dari buku pelajaran. Ilmu, teknologi, dan kebutuhan kompetensi berkembang dalam hitungan bulan, bukan puluhan tahun.
Dampaknya, pelajar sering merasa menguasai materi untuk ujian, tetapi kehilangan arah ketika ditanya: “Bagaimana penerapannya dalam hidupmu?”
Dunia Kerja Berubah Terlalu Cepat
Hari ini, dunia kerja bergerak dengan kecepatan yang bahkan sulit dikejar pendidikan formal. Laporan World Economic Forum menyebutkan bahwa 40% skill pekerjaan akan berubah dalam lima tahun ke depan. Artinya, kemampuan yang relevan saat ini bisa jadi tidak lagi berguna dalam waktu singkat. Selain itu, banyak profesi baru yang muncul dan belum pernah dibahas di buku pelajaran tradisional. Contohnya adalah AI engineer, data analyst, UI/UX designer, content strategist, hingga profession di bidang digital marketing dan teknologi kreatif.
Di sisi lain, proses pembaruan kurikulum di sekolah negeri bisa memakan waktu bertahun-tahun. Buku pelajaran harus disusun, diuji, diterapkan, dikaji ulang, baru diperbarui. Akibatnya, sekolah tertinggal jauh, industri sudah berada di bab 50, sementara kurikulum masih berada di bab 10. Tidak heran jika siswa merasa sekolah tidak mengajarkan hal-hal yang relevan dengan kebutuhan dunia modern.
Pelajaran Terlalu Teoretis, Minim Aplikasi
Kenyataan di kelas menunjukkan bahwa banyak siswa kesulitan memahami pelajaran bukan karena tidak mampu, tetapi karena materi disampaikan terlalu abstrak. Mereka diberi rumus panjang, teori tebal, definisi hafalan, dan latihan soal, tetapi tidak diperlihatkan bagaimana semua itu bekerja dalam kehidupan nyata. Pelajaran pun terasa jauh dari pengalaman pribadi dan kebutuhan masa depan.
Padahal menurut penelitian neurosains, otak manusia jauh lebih mudah memahami informasi jika:
- diberi contoh konkret,
- bisa diaplikasikan langsung,
- terkait dengan situasi nyata yang relevan dengan kehidupan siswa.
Misalnya, pelajaran bunga bank akan terasa lebih mudah dipahami jika guru meminta siswa menghitung bunga tabungan mereka sendiri, bukan sekadar menghafal rumus di papan tulis. Ketika pelajaran menjadi personal, bermakna, dan menyentuh realita, otak lebih mudah mengolahnya, menyimpannya, dan mengingatnya dalam jangka panjang.
Tidak Semua Guru Diberi Ruang Berinovasi
Masalah lain yang jarang dibahas adalah bahwa guru pun sering terjebak dalam sistem. Banyak guru sebenarnya ingin memberikan pembelajaran kreatif, diskusi, proyek kolaboratif, atau pengalaman praktik kepada siswa. Namun mereka harus berhadapan dengan target administrasi, format penilaian nasional, tuntutan penyelesaian silabus, serta sedikitnya waktu dalam satu semester.
Dalam kondisi seperti itu, pembelajaran yang ideal akhirnya kalah oleh kewajiban teknis. Guru pun dipaksa untuk berpikir, “Yang penting materi selesai dan siap untuk ujian.” Padahal pendidikan seharusnya memicu rasa ingin tahu, mendorong eksplorasi, dan membantu siswa menemukan makna belajar. Jika guru diberi ruang bereksperimen, pembelajaran seharusnya jauh lebih hidup dan relevan dengan kebutuhan zaman.
Siswa Tidak Melihat Hubungan antara Pelajaran dan Masa Depan
Salah satu alasan utama siswa kehilangan motivasi adalah karena mereka tidak melihat manfaat materi sekolah bagi hidup mereka. Banyak pelajaran disampaikan tanpa penjelasan mengapa itu penting, bagaimana digunakan di dunia nyata, atau di profesi apa keterampilan itu dibutuhkan. Pelajaran pun terasa mengambang, dikerjakan hanya untuk tugas, bukan untuk kehidupan.
Padahal jika dijelaskan dengan baik, hampir semua pelajaran sebenarnya relevan:
- Fisika digunakan dalam rekayasa mesin, desain game, animasi 3D, hingga kecerdasan buatan.
- Matematika menjadi dasar bagi keuangan, ekonomi, data, hingga pemrograman.
- IPS berkaitan langsung dengan bisnis, politik, sosiologi, dan dunia riset.
- Bahasa Indonesia berperan besar dalam komunikasi profesional, pembuatan proposal, laporan kerja, hingga presentasi perusahaan.
Masalahnya, hubungan ini jarang ditunjukkan secara eksplisit. Akibatnya siswa belajar untuk ujian, padahal idealnya mereka belajar untuk hidup.
Siswa Belajar dengan Cara yang Tidak Sesuai dengan Otak
Riset neurosains menunjukkan bahwa otak manusia belajar paling efektif melalui pengalaman langsung, diskusi, percobaan, dan keterlibatan aktif. Sayangnya, banyak sekolah masih menggunakan pendekatan lama: ceramah satu arah, hafalan, mencatat dari papan tulis, lalu mengerjakan latihan soal. Model ini tidak sesuai dengan cara otak memproses dan menyimpan memori jangka panjang.
Tidak heran jika banyak siswa merasa bosan, jenuh, cepat lupa, atau bahkan merasa pelajaran tidak penting. Mereka tidak dilibatkan untuk berpikir, berpendapat, memecahkan masalah, atau mencoba sendiri. Jika sekolah menggunakan strategi belajar yang lebih sesuai dengan prinsip kerja otak, seperti active learning, proyek pengalaman, diskusi kelompok, presentasi, eksperimen, dan pembelajaran berbasis masalah, hasilnya akan jauh lebih kuat dan bertahan lama.
Masih Minim Pembelajaran Soft Skill
Dunia kerja saat ini tidak hanya menilai kemampuan teknis, tetapi juga kemampuan non-teknis seperti:
- komunikasi,
- pemecahan masalah,
- kerja tim,
- adaptasi,
- manajemen waktu,
- empati,
- dan berpikir kritis.
Ironisnya, sistem pendidikan masih terlalu fokus pada nilai akademik dan performa ujian. Siswa bisa menguasai teori secara sempurna tetapi tetap kewalahan ketika menghadapi konflik kerja, negosiasi, perubahan mendadak, atau situasi yang membutuhkan kreativitas. Orang yang pintar belum tentu siap kerja, karena “pintar ujian” tidak otomatis berarti “pintar hidup”.
Sekolah yang berhasil di masa depan adalah sekolah yang tidak hanya mencetak siswa berpengetahuan, tetapi juga manusia yang kuat mentalnya, siap berinteraksi, mampu memecahkan masalah, dan mampu hidup dalam dunia yang bergerak cepat.
Lalu Solusinya Apa?
1. Hubungkan Pelajaran dengan Dunia Nyata
Salah satu langkah paling penting adalah mengaitkan materi yang dipelajari siswa dengan kehidupan sehari-hari. Pelajaran yang abstrak akan terasa membingungkan jika siswa tidak tahu untuk apa mereka mempelajarinya. Misalnya, ekonomi bisa dihidupkan melalui simulasi bisnis sederhana, biologi dengan penelitian tumbuhan di lingkungan sekolah, atau matematika melalui perhitungan pajak, tabungan, dan analisis data sederhana. Ketika siswa melihat bahwa pengetahuan yang mereka pelajari benar-benar berguna dalam hidup, motivasi belajar meningkat dengan sendirinya. Mereka merasa bahwa belajar bukan sekadar memenuhi tugas, tetapi mempersiapkan diri menghadapi dunia nyata.
Cara ini juga terbukti memperkuat pemahaman karena otak lebih mudah menyimpan informasi yang punya konteks jelas. Ketika siswa mempraktikkan materi melalui kegiatan nyata, mereka tidak hanya menghafal rumus atau teori, tetapi memahami “mengapa” sesuatu bekerja seperti itu. Pembelajaran pun menjadi lebih hidup, relevan, dan terasa dekat dengan masa depan mereka.
2. Penggunaan Model Project-Based Learning
Project-Based Learning (PBL) adalah salah satu metode yang efektif untuk memaksimalkan proses belajar. Dalam model ini, siswa mengerjakan proyek nyata yang menuntut mereka menyelesaikan masalah, merancang solusi, dan menghasilkan produk atau hasil belajar yang konkret. Ketika siswa terlibat langsung, mereka tidak lagi hanya mendengarkan atau mencatat, melainkan berkolaborasi, merencanakan, dan bertindak. Hal ini membuat pembelajaran lebih aktif, bermakna, dan menyentuh proses berpikir tingkat tinggi seperti analisis, kreativitas, dan evaluasi.
Model ini juga selaras dengan cara kerja otak. Pembelajaran melalui pengalaman langsung meninggalkan jejak memori yang lebih kuat dibanding hafalan pasif. Selain itu, PBL membantu siswa melihat nilai nyata dari pelajaran yang mereka pelajari. Mereka memahami bahwa tugas sekolah tidak hanya dinilai untuk angka, tetapi dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dan nyata. Dengan cara ini, belajar tidak hanya melekat di kepala, tetapi juga dalam keterampilan hidup mereka.
3. Guru Butuh Kebebasan Berinovasi
Guru memiliki peran sentral dalam menentukan kualitas pembelajaran di kelas. Namun kreativitas mereka sering terbatas oleh tuntutan administratif, kejar tayang kurikulum, atau sistem penilaian yang terlalu kaku. Jika guru diberikan ruang untuk berinovasi, mereka dapat merancang strategi belajar yang lebih menarik, kolaboratif, dan sesuai dengan karakter siswa di kelas. Pembelajaran yang kreatif akan membuat suasana kelas hidup, siswa lebih terlibat, dan pemahaman mereka jauh lebih mendalam.
Selain itu, guru yang diberi kepercayaan akan merasa lebih dihargai dan termotivasi. Mereka dapat menyesuaikan model belajar dengan kebutuhan zaman yang terus berubah, menghubungkan teori dengan praktik, serta mendorong siswa berpikir kritis. Guru bukan sekadar “mesin kurikulum,” tetapi fasilitator perkembangan manusia. Ketika guru diberi ruang untuk berkembang, siswa pun ikut berkembang.
4. Penguatan Soft Skill
Dunia profesional saat ini tidak hanya menuntut kemampuan akademik, tetapi kemampuan manusiawi seperti komunikasi, kerja sama, pengendalian diri, adaptasi, dan pengambilan keputusan. Sayangnya, banyak siswa lulus dengan nilai tinggi tetapi kesulitan menghadapi konflik sosial, bekerja dalam tim, atau menyelesaikan masalah di lapangan. Inilah mengapa penguatan soft skill perlu dimasukkan ke dalam pembelajaran, bukan hanya jadi pelengkap atau sekadar slogan motivasi.
Ketika sekolah memberi porsi yang cukup pada soft skill melalui diskusi, presentasi, simulasi, proyek kelompok, atau refleksi diri, siswa mulai membangun fondasi penting untuk masa depan. Mereka belajar memahami diri, berinteraksi dengan sehat, menyampaikan ide dengan jelas, menerima kritik, dan beradaptasi dengan perubahan. Inilah kemampuan yang akan menentukan kesuksesan jangka panjang, jauh setelah mereka lupa rumus atau teori yang dulu dihafalkan.
BACA JUGA: Bagaimana Strategi Belajar Paling Efektif Menurut Neurosains?
FAQ Seputar Pelajaran yang Terasa Tidak Relevan
1. Kenapa banyak pelajaran terasa tidak ada gunanya?
Karena materi sering disampaikan tanpa konteks aplikasi di kehidupan nyata.
2. Apakah sebenarnya pelajaran sekolah berguna?
Ya, namun manfaatnya sering tidak disampaikan secara eksplisit kepada siswa.
3. Apa solusi agar belajar terasa relevan?
Menghubungkan materi dengan dunia nyata, project-based learning, dan penerapan langsung.
4. Apa faktor terbesar yang membuat siswa merasa bosan?
Metode pembelajaran pasif seperti ceramah dan hafalan tanpa diskusi atau praktik.
5. Apakah dunia kerja benar-benar berubah cepat?
Benar. Penelitian menunjukkan 40% skill pekerjaan akan berubah dalam 5 tahun ke depan, sehingga pendidikan perlu menyesuaikan.
Mari Manfaatkan Teknologi dengan Memperbanyak Ilmu di Luar Pelajaran Sekolah!
Kesimpulannya, Teman Eksam, alasan pelajaran sering terasa jauh dari dunia nyata bukan karena sekolah itu tidak penting, tetapi karena ada celah antara apa yang diajarkan dan apa yang dibutuhkan siswa di kehidupan modern. Sistem pendidikan bergerak lebih lambat daripada perubahan dunia kerja, pembelajaran masih banyak terpusat pada teori dan hafalan, serta siswa jarang diberi gambaran jelas tentang bagaimana materi tersebut berguna untuk masa depan mereka. Selain itu, sekolah juga masih kurang memberikan ruang bagi soft skill dan strategi belajar yang sesuai dengan cara kerja otak, sehingga banyak siswa merasa belajar hanya sekadar kewajiban, bukan proses yang memberi makna.
Namun, jika sekolah mulai menghubungkan pelajaran dengan pengalaman hidup, karier masa depan, serta aplikasi nyata, proses belajar akan berubah total. Pelajaran menjadi lebih hidup, dekat dengan dunia siswa, dan terasa relevan. Siswa bukan hanya memahami materi, tetapi juga mampu mengaitkannya dengan kenyataan yang mereka hadapi. Pendidikan pun tidak lagi sebatas tuntutan tugas, tetapi menjadi bekal yang benar-benar mempersiapkan mereka menghadapi masa depan dengan percaya diri.
Yuk, temukan lebih banyak panduan praktis untuk belajar, bekerja, dan berkembang bareng Eksam – Teman Belajar Kamu!