Halo, Teman Eksam!
Pasti ada masa ketika kamu bangun tidur, tatap langit-langit, lalu muncul satu pertanyaan: “Aku ini lagi ngapain sih sebenarnya?” Semua terasa berjalan otomatis. Rutinitas jadi hambar. Hal-hal yang dulu bikin senang terasa biasa saja.
Fenomena itu dikenal sebagai existential void, kondisi ketika seseorang merasa hidupnya kosong dan tidak memiliki makna. Ini bukan hal yang aneh, bukan pula tanda kamu “lemah”. Justru, menurut psikologi eksistensial, hampir semua manusia akan mengalaminya minimal sekali dalam hidup. Yuk, kita bahas!
Apa Itu Existential Void?
Existential void adalah kondisi ketika seseorang merasa hidupnya kosong, datar, dan kehilangan rasa makna. Perasaan ini tidak selalu tampak dari luar, namun di dalam, seseorang merasa seperti kehilangan arah. Menurut Viktor Frankl, kondisi ini muncul ketika seseorang tidak lagi punya tujuan yang jelas atau merasa hidupnya tidak terhubung dengan sesuatu yang bermakna. Banyak orang mengalaminya tanpa sadar, terutama ketika hidup berjalan otomatis dan tanpa refleksi.
Kondisi ini tidak hanya dialami saat seseorang terpuruk. Justru, kadang hal ini terjadi ketika hidup terlihat “baik-baik saja”. Hidup yang terlalu stabil, terlalu nyaman, atau tanpa tantangan bisa membuat otak kehilangan sense of purpose. Efeknya adalah rasa kosong yang muncul tiba-tiba, seolah kamu menjalani hidup, tetapi tidak benar-benar hadir di dalamnya.
Beberapa pemicunya bisa sangat beragam. Rutinitas monoton yang berlangsung terlalu lama bisa mengikis rasa semangat. Kehilangan orang atau sesuatu yang berarti membuat arah hidup ikut hilang. Tekanan hidup yang tidak berhenti menumpuk memicu kelelahan emosional. Kegagalan mencapai ekspektasi membuat seseorang mempertanyakan diri sendiri. Bahkan hidup yang terlalu aman, tanpa tantangan atau tujuan baru, bisa membuat seseorang merasa tidak berkembang.
Fakta Menarik tentang Existential Void
Penelitian global menunjukkan bahwa 62% anak muda di seluruh dunia pernah merasakan kekosongan eksistensial setelah memasuki usia 20 tahun. Angka ini meningkat setiap tahun karena dunia yang semakin cepat, kompetitif, dan penuh tekanan. Banyak dari mereka merasa “kehilangan arah” meskipun punya pendidikan, aktivitas, dan kehidupan sosial yang terlihat baik-baik saja.
Pengguna media sosial aktif juga tiga kali lebih rentan mengalami perasaan hidup yang tidak berarti. Hal ini dipicu oleh budaya perbandingan yang tidak ada habisnya. Setiap hari mereka melihat pencapaian, kebahagiaan, dan kesuksesan orang lain. Paparan ini membuat otak mudah membentuk ilusi bahwa hidupnya kurang bernilai, meski kenyataannya tidak seperti itu.
Selain itu, negara dengan budaya “tuntutan pencapaian tinggi” memiliki tingkat existential void yang jauh lebih besar. Dalam kultur seperti ini, nilai diri sering diukur dari hasil, jabatan, prestasi akademik, atau produktivitas. Tekanan untuk selalu menjadi lebih baik membuat banyak orang kehilangan ruang untuk berhenti, merenung, dan memahami diri. Akhirnya, mereka merasa hidup penuh pencapaian, tapi kosong di dalam.
Tanda-Tanda Kamu Sedang Mengalami Existential Void
Tanda-tandanya tidak selalu terlihat jelas. Kadang muncul perlahan, kadang muncul mendadak. Namun pola berikut sering kali menjadi sinyal kuat.
1. Semua terasa sama saja
Hari berganti, tetapi semuanya terasa datar. Senin dan Minggu serasa tidak berbeda. Kamu bergerak, tetapi tidak merasa hidup ikut bergerak bersama. Waktu terasa lewat begitu saja tanpa memberi rasa apa-apa.
2. Hilang minat pada hal yang dulu kamu suka
Hobi yang dulu menyenangkan kini terasa hambar. Aktivitas yang dulu membuatmu bersemangat kini terasa berat. Bahkan berkumpul dengan orang terdekat tidak lagi memberi energi seperti dulu.
3. Overthinking eksistensial
Pertanyaan-pertanyaan mendalam mulai muncul tanpa henti. “Aku hidup buat apa?” atau “Apa semua ini ada maknanya?” Pikiran seperti ini bisa muncul sebelum tidur, saat bangun pagi, atau ketika kamu sedang sendirian. Kadang muncul tiba-tiba, tanpa pemicu yang jelas.
4. Merasa terputus dari diri sendiri
Ada rasa asing dalam diri. Seolah kamu menjalani hidup secara autopilot. Kamu melakukan hal-hal seperti biasa, tetapi tidak merasa benar-benar hadir atau terlibat secara emosional.
5. Kehampaan emosional
Ini bukan sedih atau bahagia. Bukan marah atau kecewa. Rasanya lebih ke “numb”, kosong dan sulit merasakan apa pun. Kamu tahu kamu hidup, tetapi tidak banyak yang benar-benar terasa.
Kenapa Existential Void Bisa Terjadi?
1. Otak Butuh Makna untuk Bergerak
Dalam neurosains, otak manusia dianggap sebagai “mesin pencari makna”. Otak berpikir, merespons, dan mengambil keputusan berdasarkan tujuan yang jelas. Ketika tujuan ini hilang, aktivitas dopamin menurun drastis. Penurunan dopamin membuat hidup terasa lebih datar, lambat, dan tidak menarik. Tanpa makna, otak tidak tahu energi harus diarahkan ke mana. Akibatnya, seseorang merasa kehilangan semangat meskipun tidak ada masalah besar yang terjadi.
2. Kehilangan Sense of Identity
Identitas memberi otak “naskah” untuk diikuti. Saat seseorang tidak tahu siapa dirinya, apa yang diinginkan, atau apa yang diyakini, pikiran kehilangan arah. Otak membutuhkan narasi untuk memandu konsep diri. Tanpa itu, muncul rasa kosong, bingung, dan tidak terhubung dengan diri sendiri. Banyak orang merasa seperti “hidup tapi tidak benar-benar hidup” karena kehilangan narasi identitas yang stabil.
3. Beban Sosial dan Perbandingan
Media sosial memperkuat rasa kosong ini. Setiap kali melihat orang lain lebih sukses, lebih bahagia, atau lebih produktif, otak menciptakan ilusi bahwa diri sendiri “kurang”. Padahal yang terlihat hanyalah highlight hidup orang lain. Tekanan untuk selalu menjadi lebih, mencapai lebih, dan tampil lebih baik akhirnya membuat eksistensi seseorang terasa hampa. Rasa puas menjadi semakin sulit dicapai.
4. Kehilangan Kendali
Manusia butuh merasa punya kendali atas hidup. Saat pilihan hidup terasa sempit atau diambil oleh keadaan, muncul rasa tidak berdaya. Semakin sedikit hal yang bisa kamu tentukan sendiri, semakin besar kemungkinan munculnya existential void. Ketika arah hidup ditentukan oleh tekanan, standar, atau keadaan, otak kehilangan rasa agensi yang sangat penting untuk kesejahteraan psikologis.
Apakah Existential Void Sama dengan Depresi?
Jawabannya, tidak selalu sama, meskipun keduanya bisa saling berhubungan. Existential void adalah kondisi kosong dan kehilangan makna. Rasanya seperti tidak tahu arah, meski secara fisik kamu masih mampu beraktivitas. Sementara itu, depresi adalah kondisi klinis yang melibatkan sedih mendalam, kelelahan ekstrem, gangguan tidur, perubahan pola makan, dan gejala fisik lainnya.
Namun keduanya bisa saling berkaitan. Jika existential void dibiarkan terlalu lama tanpa diatasi, kondisi ini bisa berkembang menjadi depresi. Karena itu, mengenali dan menangani rasa kosong sejak awal sangat penting.
Bagaimana Cara Keluar dari Existential Void?
Tidak ada jalan pintas. Namun, ada beberapa langkah yang terbukti efektif, dan bisa Teman Eksam coba:
1. Mulai Bangun Kembali Makna Hidup
Makna tidak selalu harus besar atau heroik. Terkadang makna dapat muncul dari hal kecil: merawat diri, mendukung keluarga, menolong orang lain, atau melakukan hal yang kamu yakini benar. Makna kecil ini lama-lama memberi pijakan untuk menemukan makna yang lebih besar.
2. Lakukan Hal Baru Meski Sedikit
Otak menyukai kebaruan. Hal kecil seperti mengunjungi tempat baru, membaca genre buku yang jarang kamu sentuh, atau mengganti rute perjalanan bisa merangsang kembali rasa hidup. Kebaruan memberi otak sinyal bahwa hidup tidak monoton.
3. Berhenti Mengejar Validasi Eksternal
Bertanya kepada diri sendiri: “Kalau tidak ada yang menilai, apakah aku masih ingin melakukan ini?”
Pertanyaan ini membantu kamu membedakan keinginan asli dengan tuntutan sosial. Saat validasi tidak lagi menjadi pusat keputusan, rasa makna lebih mudah ditemukan.
4. Koneksi Sosial
Hubungan dengan teman, keluarga, atau komunitas memberi rasa terhubung. Manusia memang makhluk sosial. Kebersamaan mengurangi rasa kosong dan memberi struktur emosional yang stabil.
5. Praktik Grounding
Teknik seperti meditasi, journaling, atau mengamati napas membantu kamu kembali “hadir” dalam diri sendiri. Grounding membuat pikiran lebih tenang dan memulihkan rasa kendali.
6. Patahkan Rutinitas Autopilot
Rutinitas yang sama setiap hari membuat otak mati rasa. Mengubah hal kecil, seperti jam bangun, urutan aktivitas pagi, atau jenis sarapan, bisa membantu otak keluar dari mode autopilot.
7. Jika Perlu, Cari Bantuan Profesional
Psikolog bukan sekadar tempat bercerita. Mereka membantu menemukan pola hidup yang membuatmu kehilangan makna. Bantuan profesional dapat mempercepat proses pemulihan dan mencegah kondisi memburuk.
BACA JUGA: Kenali Konsep Eudaimonia, Cara Hidup yang Lebih Bermakna
FAQ Seputar Existential Void
1. Apakah existential void normal?
Ya, ini bagian dari perjalanan manusia. Hampir semua orang mengalaminya.
2. Berapa lama kondisi ini berlangsung?
Beda-beda. Ada yang beberapa minggu, ada yang beberapa bulan. Bisa pulih lebih cepat jika kamu mulai membangun arah hidup baru.
3. Apakah ini berarti saya salah jalur hidup?
Tidak selalu. Kadang ini tanda bahwa kamu butuh perubahan kecil, bukan perubahan besar.
4. Apakah membaca buku self-help cukup?
Membantu, tapi tidak menyelesaikan akar masalah. Kamu tetap perlu eksplorasi makna hidup versi kamu sendiri.
Jadikan Ini Sebagai Awal untuk Mencari Arah Baru
Teman Eksam, rasa hampa bukan tanda kamu gagal. Justru itu tanda bahwa kamu sedang berada di titik transisi menuju diri yang lebih matang, lebih sadar, dan lebih kuat. Existential void bukan akhir. Ini adalah undangan untuk mengenal diri lebih dalam, menata ulang hidup, dan menciptakan makna yang benar-benar kamu inginkan.
Yuk, temukan lebih banyak panduan praktis untuk belajar, bekerja, dan berkembang bareng Eksam – Teman Belajar Kamu!