Halo, Teman Eksam!
Pernah nggak sih kamu merasa nilai dan peringkat di sekolah seakan jadi “patokan harga diri”?
Sistem ranking selama puluhan tahun dianggap sebagai cara paling mudah menilai siapa yang paling pintar. Namun, dunia sekarang sudah berubah, dunia kerja dan pendidikan semakin menekankan kolaborasi, empati, dan kreativitas, bukan hanya kompetisi angka di raport.
Lalu, apakah sistem ranking masih relevan di dunia yang serba kolaboratif seperti sekarang? Mari kita bahas satu per satu.
Fakta yang Harus Kamu Tahu
Survei global yang dilakukan oleh World Economic Forum (WeForum) tahun 2024 menunjukkan bahwa 72% tenaga kerja muda merasa lebih termotivasi dan produktif saat berada di lingkungan kerja kolaboratif, bukan yang penuh persaingan. Artinya, generasi saat ini cenderung lebih berkembang ketika diberi ruang untuk bekerja sama, saling berbagi ide, dan tumbuh bareng, bukan saat terus dibanding-bandingkan. Dunia kerja kini mulai menyadari bahwa keberhasilan bukan soal “siapa yang paling cepat”, tapi “seberapa baik tim bisa maju bersama”.
Laporan dari OECD Education Outlook 2025 juga memperkuat temuan ini. Sekolah yang menerapkan peer learning atau sistem belajar berbasis kerja sama antar-siswa, tercatat memiliki tingkat kepuasan 40% lebih tinggi dibanding sekolah dengan sistem ranking ketat. Pendekatan ini membantu siswa saling memahami, memperbaiki kesalahan bersama, dan menumbuhkan empati. Hasilnya, bukan cuma nilai yang meningkat, tapi juga kepercayaan diri dan keterampilan sosial yang lebih matang.
Bahkan di tingkat perguruan tinggi, tren serupa mulai terlihat. Universitas ternama seperti Harvard dan Stanford kini tidak lagi mencantumkan ranking kelas pada transkrip nilai mahasiswanya. Alasannya jelas, ranking dianggap tidak lagi relevan untuk menilai potensi seseorang secara menyeluruh. Dunia pendidikan kini bergeser dari “kompetisi angka” menuju “kolaborasi nilai”. Fokusnya bukan lagi siapa yang paling pintar, tapi siapa yang bisa berpikir kritis, bekerja dalam tim, dan membawa dampak positif bagi sekitar.
Asal Mula Sistem Ranking
Sistem ranking awalnya muncul untuk memudahkan guru dan sekolah membedakan capaian siswa berdasarkan hasil akademik. Namun, konsep ini mulai dikritik karena hanya menilai dari hasil akhir, bukan proses belajar.
Bahkan, UNESCO dan OECD dalam laporan Future of Education 2024 menekankan bahwa “kompetisi berlebihan bisa menurunkan motivasi intrinsik siswa dan menumbuhkan kecemasan akademik.”
Dengan kata lain, sistem ranking bisa membuat siswa lebih fokus mengejar nilai daripada makna belajar itu sendiri.
Dunia Kerja Kini Butuh Kolaborasi, Bukan Kompetisi
Teman Eksam, coba lihat dunia kerja modern, perusahaan seperti Google, Tokopedia, hingga Gojek kini menilai karyawan berdasarkan teamwork, kemampuan komunikasi, dan inisiatif, bukan ranking IPK.
Dalam laporan LinkedIn 2025 Workplace Skills Report, 85% perusahaan menyatakan bahwa soft skills seperti kolaborasi dan empati kini lebih penting dibanding nilai akademik semata.
Artinya, siswa yang terbiasa bekerja sama dan membantu teman justru lebih siap menghadapi dunia nyata dibanding yang hanya fokus bersaing.
Dampak Negatif Sistem Ranking Tradisional
- Menurunkan Kepercayaan Diri Siswa Non-Akademik
Anak yang unggul di bidang seni, olahraga, atau komunikasi sering kali merasa kurang berharga hanya karena nilai akademiknya rendah. - Meningkatkan Stres dan Kecemasan Akademik
Sebuah studi dari American Psychological Association (APA) menunjukkan bahwa sistem kompetitif ekstrem meningkatkan risiko burnout pada pelajar. - Menurunkan Empati dan Kerjasama
Ketika fokus utama adalah “jadi nomor satu”, siswa cenderung melihat teman sebagai pesaing, bukan mitra belajar.
Penilaian Holistik & Growth Mindset
Beberapa negara seperti Finlandia, Kanada, dan Jepang sudah mulai meninggalkan sistem ranking tradisional. Sebagai gantinya, mereka menggunakan penilaian formatif dan laporan perkembangan individu, yang menilai proses belajar, kerja tim, dan perkembangan karakter.
Indonesia pun mulai bergerak ke arah yang sama lewat Kurikulum Merdeka, yang menekankan projek kolaboratif, profil pelajar Pancasila, dan asesmen diagnostik ketimbang sekadar ranking. Ini artinya fokus pendidikan mulai bergeser dari “siapa yang paling cepat selesai” menjadi “bagaimana semua bisa berkembang bersama.”
Apa yang Bisa Kita Lakukan Sebagai Siswa?
Teman Eksam, meski ranking masih ada di beberapa sekolah, bukan berarti kamu harus menjadikannya ukuran nilai dirimu. Yang lebih penting adalah:
- Fokus pada proses belajar, bukan hanya hasilnya.
- Kolaborasi dengan teman, karena dua kepala lebih baik daripada satu.
- Bangun kemampuan komunikasi dan empati, karena dunia kerja akan lebih menghargai itu.
- Jaga mental, karena perjalanan setiap orang berbeda.
BACA JUGA: Kurikulum Pendidikan di Finlandia, Negara dengan Sistem Pendidikan Terbaik
FAQ Seputar Sistem Ranking
1. Apakah sekolah di Indonesia masih wajib memberikan ranking?
Tidak. Berdasarkan Kurikulum Merdeka, sekolah diberi fleksibilitas untuk tidak mencantumkan ranking dan fokus pada laporan capaian kompetensi siswa.
2. Apa kekurangan utama sistem ranking tradisional?
Ranking hanya menilai dari hasil akademik dan sering mengabaikan potensi lain seperti kreativitas, kepemimpinan, dan kolaborasi.
3. Apakah ranking masih diperlukan?
Bisa, tapi konteksnya harus tepat — misalnya untuk seleksi tertentu. Namun, ranking sebaiknya tidak jadi tolok ukur utama keberhasilan siswa.
4. Bagaimana cara sekolah menilai tanpa ranking?
Melalui portofolio, asesmen formatif, umpan balik kualitatif dari guru, serta observasi terhadap keterlibatan siswa dalam projek kelompok.
5. Apa manfaat pendidikan kolaboratif?
Siswa belajar mendengar, menghargai, dan memecahkan masalah bersama — kemampuan yang sangat dibutuhkan di dunia profesional modern.
Teruslah Belajar Menjadi Versi Terbaikmu!
Teman Eksam, dunia sudah berubah. Kini, keberhasilan tidak lagi ditentukan oleh siapa yang paling tinggi nilainya, tapi oleh siapa yang mau tumbuh, bekerja sama, dan terus belajar.
Ranking mungkin pernah jadi tolak ukur penting, tapi di dunia yang serba kolaboratif, kemampuan beradaptasi dan empati jauh lebih bernilai. Jadi, teruslah belajar bukan untuk menjadi “nomor satu”, tapi untuk menjadi versi terbaik dari dirimu sendiri.
Yuk, temukan lebih banyak panduan praktis untuk belajar, bekerja, dan berkembang bareng Eksam – Teman Belajar Kamu!