Budaya ‘Cancel’ di Internet, Efektif Ngebuat Orang Jera atau Malah Ngerusak?

Halo, Teman Eksam!

Pernah dengar istilah “Cancel Culture”? Di era media sosial sekarang, satu kesalahan kecil bisa bikin seseorang langsung “dicancel” alias diboikot secara massal oleh netizen. Mulai dari artis, influencer, pejabat, sampai stasiun tv semua bisa kena “cancel” dalam hitungan jam kalau ucapannya dianggap menyinggung publik.

Bagi sebagian orang, tindakan ini dianggap bentuk tanggung jawab sosial digital. Tapi bagi yang lain, ini justru jadi senjata sosial baru yang berpotensi merusak reputasi seseorang secara permanen bahkan sebelum kebenarannya jelas.

Apa Itu Budaya ‘Cancel’?

Budaya cancel atau cancel culture adalah fenomena ketika publik, terutama di media sosial, secara kolektif memboikot seseorang, merek, atau institusi karena dianggap melakukan kesalahan moral, sosial, atau etika. Biasanya, hal ini muncul dari dorongan netizen untuk menegakkan keadilan sosial di ruang digital.

Contohnya:

  1. Seorang influencer membuat komentar yang dianggap rasis.
  2. Selebriti kedapatan melakukan pelecehan.
  3. Sebuah brand ketahuan melakukan greenwashing (pura-pura peduli lingkungan untuk keuntungan citra).

Respons publik bisa sangat cepat: berhenti mengikuti akun, memboikot produk, hingga ramai-ramai menggunakan tagar seperti #CancelXYZ. Sekilas, budaya ini tampak seperti cara masyarakat menjaga akuntabilitas publik. Tapi kalau ditelusuri lebih dalam, efeknya tidak sesederhana itu.


Menguatkan Tanggung Jawab Publik

Teman Eksam, kita nggak bisa menutup mata bahwa budaya cancel juga punya sisi baik. Ia lahir dari semangat untuk menuntut keadilan dan tanggung jawab moral dari pihak yang memiliki pengaruh besar.

1. menumbuhkan akuntabilitas publik

Cancel culture membuat orang lebih berhati-hati dalam berbicara dan bertindak di dunia digital. Keterbukaan media sosial menciptakan ruang di mana setiap tindakan bisa diawasi publik, dan ini membantu membangun budaya tanggung jawab.

2. mendorong kesadaran sosial

Banyak isu penting yang dulunya diabaikan kini mulai diperhatikan.
Kasus diskriminasi, rasisme, hingga kekerasan seksual lebih cepat viral dan mendapat dukungan publik berkat kesadaran kolektif yang tumbuh lewat budaya cancel.

3. memberi suara untuk yang tak terdengar

Melalui media sosial, masyarakat biasa punya kesempatan bersuara. Cancel culture sering kali menjadi “megafon” bagi mereka yang selama ini tidak didengar, terutama korban ketidakadilan. Dengan adanya solidaritas publik, perubahan nyata kadang bisa dimulai dari sini.


Budaya Cancel Bisa Jadi “Toxic”

Namun, di sisi lain, budaya cancel juga punya dampak yang berbahaya ketika digunakan tanpa empati dan verifikasi. Alih-alih menciptakan keadilan, kadang yang muncul justru adalah penghakiman massal tanpa konteks.

1. Trial by internet

Seseorang bisa langsung “dihukum” publik bahkan sebelum ada bukti yang jelas. Opini netizen sering kali menyebar lebih cepat dari fakta, menyebabkan misinformation yang sulit dikendalikan. Akibatnya, reputasi seseorang bisa hancur dalam hitungan jam.

2. menimbulkan ketakutan dan trauma

Bagi yang terkena dampak, budaya cancel bisa sangat menghancurkan. Bukan hanya kehilangan pekerjaan, tapi juga mengalami tekanan mental berat, cyberbullying, dan bahkan depresi. Satu kesalahan bisa menutup seluruh kesempatan untuk memperbaiki diri.

3. Menghambat ruang diskusi sehat

Banyak orang akhirnya takut berbicara karena khawatir “salah sedikit langsung diserang.” Padahal, ruang diskusi seharusnya menjadi tempat belajar dan bertukar pandangan, bukan arena penghakiman.

4. Mengikis Empati dan Pengampunan

Internet bisa jadi tempat yang dingin ketika empati hilang. Budaya cancel sering kali melupakan bahwa manusia bisa berubah dan belajar dari kesalahan. Tanpa ruang untuk memaafkan, yang tersisa hanya ketakutan dan keterasingan.


Efektif Ngebuat Orang Efektif Ngebuat Orang Jera atau Malah Ngerusak?

Nah, ini dia pertanyaan utamanya, Teman Eksam. Apakah budaya cancel benar-benar efektif? Jawabannya… tergantung pada niat dan cara kita melakukannya.

Kalau tujuannya adalah menuntut tanggung jawab dan mendorong perbaikan perilaku, budaya cancel bisa berfungsi seperti alarm sosial, mengingatkan bahwa setiap tindakan punya konsekuensi. Banyak kasus yang akhirnya membuka mata publik dan mendorong perubahan positif karena netizen bersatu menyuarakan kebenaran.

Tapi, kalau cancel berubah jadi ajang “balas dendam sosial” atau sekadar ikut-ikutan tren marah, maka efeknya justru bisa merusak. Alih-alih membuat seseorang belajar, yang muncul justru rasa takut, kebencian, dan kebisuan di ruang digital. Padahal, dunia maya seharusnya jadi tempat untuk berbagi, bukan saling menyingkirkan.


Jadi, Harus Gimana Nih, Teman Eksam?

1. Cari tahu faktanya

Jangan langsung percaya dengan potongan video, cuitan yang viral, atau komentar yang belum tentu benar. Lihat sumber berita, periksa konteksnya, dan pastikan kamu tahu duduk persoalan sebelum ikut menyebarkan. Ingat, satu share bisa berdampak besar, entah untuk kebenaran, atau justru untuk menyebar salah paham.

2. gunakan empati

Setiap orang bisa salah. Tapi setiap orang juga bisa berubah. Kalau seseorang sudah mengakui kesalahannya dan berusaha memperbaiki diri, beri ruang untuk tumbuh. Keadilan sosial nggak akan berarti tanpa empati. Kadang, memberi kesempatan kedua jauh lebih memberdayakan daripada menghukum tanpa ampun.

3. bangun budaya diskusi, bukan budaya hujat

Tujuan kita seharusnya bukan menghancurkan, tapi memperbaiki. Kalau ada perilaku yang salah, mari bahas dengan data dan argumen, bukan dengan ejekan dan caci maki. Internet akan jauh lebih sehat kalau digunakan untuk berpikir kritis, bukan marah refleks.


BACA JUGA: AI Mulai Gantikan Influencer, Dunia Kreatif Bakal ke Mana?

FAQ Seputar Budaya Cancel

1. Apa yang dimaksud dengan budaya cancel di internet?
Budaya cancel adalah tindakan memboikot seseorang atau merek karena dianggap melakukan kesalahan, biasanya melalui media sosial.

2. Apakah budaya cancel selalu buruk?
Tidak selalu. Jika dilakukan untuk menuntut tanggung jawab dan perubahan positif, budaya cancel bisa berdampak baik. Namun, jika dilakukan tanpa empati atau bukti, justru bisa merusak reputasi seseorang.

3. Bagaimana cara menanggapi budaya cancel dengan bijak?
Teman Eksam bisa mulai dari verifikasi informasi, menjaga netralitas, dan tidak ikut menyebarkan ujaran kebencian.

4. Apa dampak cancel culture terhadap kesehatan mental?
Korban cancel sering mengalami stres, kecemasan, bahkan depresi akibat tekanan sosial dan kehilangan dukungan publik.


Internet Harusnya Jadi Tempat Belajar, Bukan Menghakimi

Teman Eksam, dunia digital adalah ruang yang luar biasa. Di sana kita bisa tumbuh, belajar hal baru, dan memperluas empati lintas batas. Tapi semua itu bisa hilang kalau kita menjadikannya medan tempur untuk saling menjatuhkan.

Budaya cancel sebenarnya punya potensi besar untuk kebaikan, asal dilakukan dengan bijak, proporsional, dan berlandaskan empati. Sebelum menekan tombol “post”, coba tanya diri sendiri, “Apakah aku sedang memperjuangkan kebenaran… atau cuma ikut-ikutan marah?”

Karena di balik layar ponsel, masih ada manusia yang bisa terluka dan mungkin, justru butuh kesempatan untuk belajar menjadi lebih baik.

Yuk, temukan lebih banyak panduan praktis untuk belajar, bekerja, dan berkembang bareng Eksam – Teman Belajar Kamu!

Leave a Comment