Halo, Teman Eksam!
Di banyak sekolah, terutama di Indonesia, budaya senioritas sering dianggap sebagai hal “wajar” dan bagian dari proses adaptasi. Para senior merasa punya hak untuk mengatur, menegur, bahkan “menguji” adik kelas atas nama tradisi. Namun, Teman Eksam, benarkah senioritas adalah bentuk pembelajaran sosial? Atau jangan-jangan, praktik ini telah bergeser menjadi kekerasan terselubung yang dibiarkan begitu saja?
Di era pendidikan modern yang menekankan keamanan, toleransi, dan kesehatan mental, sudah saatnya kita mempertanyakan senioritas ini benar-benar tradisi, atau sebenarnya masalah? Artikel ini akan membahas secara mendalam akar masalah senioritas, dampaknya bagi siswa, hingga bagaimana sekolah seharusnya menyikapinya.
Budaya Senioritas di Sekolah, Adaptasi atau Kekerasan?
Teman Eksam, kalau kita jujur, hampir semua sekolah di Indonesia pernah punya cerita soal senioritas. Mulai dari “aturan tak tertulis” agar adik kelas selalu memberi salam terlebih dahulu, hingga bentuk yang lebih ekstrem seperti perpeloncoan, intimidasi, bahkan kekerasan fisik.
Masalahnya, budaya senioritas ini sering dibungkus dengan alasan klasik, “Biar cepat beradaptasi”, “Biar respect sama kakak kelas”, atau “Itu cuma tradisi.”
Padahal, banyak kasus menunjukkan senioritas bisa berubah menjadi bentuk kekerasan terselubung yang merusak kepercayaan diri, menghambat perkembangan sosial, bahkan membahayakan kesehatan mental peserta didik.
Sebuah riset KPAI mencatat bahwa lebih dari 41% kekerasan di sekolah berakar dari relasi senior–junior. Angka ini membuktikan budaya senioritas bukan sekadar tradisi, tapi indikasi masalah struktural yang sering diabaikan sekolah.
Mengapa Budaya Senioritas Bisa Terjadi?
Banyak faktor yang memperkuat budaya senioritas di sekolah Indonesia, antara lain:
1. Sistem Hierarki yang Terus Diturunkan
Kakak kelas merasa “berhak” memperlakukan adik kelas seperti mereka dulu diperlakukan. Siklus ini berlangsung turun-temurun.
2. Kurangnya Edukasi tentang Perundungan
Tidak semua sekolah mengajarkan perbedaan antara “pembinaan” dan “pelecehan”. Akibatnya, perilaku kasar dianggap normal.
3. Lemahnya Pengawasan Guru & Pihak Sekolah
Kekerasan senioritas sering terjadi di area yang jarang diawasi: lorong kelas, lapangan, ruang OSIS, bahkan grup online.
4. Pencarian Identitas pada Remaja
Remaja sering mencari pengakuan lewat dominasi. Senioritas jadi tempat untuk menunjukkan “kekuatan”.
Senioritas yang Menjadi Kekerasan Terselubung
Budaya senioritas tidak selalu terlihat jelas. Banyak bentuknya yang halus, tetapi merusak seperti:
- Memaksa adik kelas melakukan tugas yang bukan tanggung jawab mereka
- Merendahkan adik kelas dengan kata-kata
- Mengintimidasi lewat tatapan, aturan kaku, atau ancaman sosial
- Pressure untuk ikut kegiatan tertentu “biar dianggap”
- Pelecehan verbal dan body shaming
Dampaknya? Menurut riset KemenPPPA, bullying bisa meningkatkan risiko depresi, kecemasan, dan penurunan prestasi akademik.
Apa Kata Undang-Undang?
Banyak siswa dan bahkan guru masih menganggap senioritas sebagai “tradisi turun-temurun” yang wajar terjadi setiap tahun ajaran baru. Padahal, jika dilihat dari perspektif hukum, praktik senioritas yang disertai intimidasi, pemaksaan, atau kekerasan secara jelas tergolong pelanggaran hukum. Indonesia sudah memiliki berbagai regulasi yang tegas melarang kekerasan dalam dunia pendidikan, dan aturan-aturan ini wajib dipatuhi oleh seluruh pihak: sekolah, guru, organisasi siswa, hingga peserta didik.
Berikut dasar hukum yang mengatur larangan senioritas ekstrem:
Dasar Hukum yang Melarang Senioritas Berbahaya
- UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak
Melarang segala bentuk kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, diskriminasi, serta tindakan yang menghambat hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang aman. Artinya, tindakan seperti membentak adik kelas, memaksa mereka melakukan hal yang merugikan, atau mengancam adalah pelanggaran hak anak. - Permendikbud No. 82 Tahun 2015 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan
Mengharuskan sekolah memiliki mekanisme pelaporan, pencegahan, dan penindakan terhadap kekerasan. Sekolah juga wajib memberikan sanksi kepada pelaku, serta perlindungan kepada korban.
Sanksi yang Dapat Diberikan
Jika terbukti melakukan tindakan senioritas berbahaya, pelaku bisa dikenai sanksi berikut:
- Teguran tertulis atau teguran keras
- Skorsing sementara
- Pemberhentian dari organisasi (OSIS, ekskul, atau panitia)
- Rekomendasi untuk mengikuti pembinaan psikologis
- Pemindahan sekolah jika tindakannya berat atau berulang
- Catatan pelanggaran yang memengaruhi rekam jejak akademik
Kesimpulannya tindakan senioritas yang merugikan bukan lagi “tradisi”, tetapi pelanggaran hukum yang bisa berdampak serius bagi masa depan siswa.
Bagaimana Budaya Senioritas Bisa Positif?
Meskipun sering dianggap negatif, hubungan senior-junior sebenarnya bisa menjadi sumber pembelajaran dan dukungan emosional jika dikelola dengan benar. Senioritas yang sehat justru membantu menciptakan lingkungan sekolah yang ramah, aman, dan penuh rasa kebersamaan. Ini adalah bentuk positive peer leadership, yaitu kepemimpinan berbasis keteladanan antar-siswa.
Untuk menjadi positif, relasi senior-junior harus memenuhi beberapa prinsip berikut:
Ciri-Ciri Senioritas yang Positif
- Pembinaan, bukan pemaksaan
Senior mengarahkan adik kelas untuk beradaptasi dengan lingkungan sekolah tanpa memaksa, mengejek, atau menjatuhkan mental. - Pendampingan, bukan dominasi
Peran senior adalah menjadi pendamping, bukan penguasa. Mereka membantu, bukan mengatur secara berlebihan. - Keteladanan, bukan intimidasi
Senior memberikan contoh yang baik melalui sikap, etika, dan prestasi—bukan melalui ancaman atau tekanan.
Contoh Senioritas Positif di Sekolah
- Kakak kelas membantu adik kelas mengenal aturan sekolah dan budaya belajar
- Senior memberi tips sukses organisasi, ekskul, atau lomba akademik
- Adanya program mentoring antar-angkatan yang membuat adik kelas merasa diterima
- Senior membantu membangun lingkungan yang inklusif, bukan eksklusif
- Penguatan solidaritas dan kolaborasi dalam kegiatan sekolah
Senioritas yang positif inilah yang seharusnya dijaga dan dikembangkan. Bukan senioritas yang membuat adik kelas takut, tetapi senioritas yang membuat mereka merasa aman, dibimbing, dan dihargai.
Bagaimana Sekolah Bisa Menghentikan Budaya Senioritas Negatif?
Menghapus senioritas negatif bukan hanya soal menegur pelaku, tetapi membangun budaya sekolah yang aman, suportif, dan berorientasi pada pembinaan. Sekolah punya peran besar dalam memastikan setiap siswa, baik junior maupun senior, untuk memahami batasan perilaku, rasa hormat, dan nilai kerja sama. Berikut langkah-langkah praktis dan terbukti efektif yang bisa diterapkan:
1. Sistem Mentoring Resmi
Sekolah dapat membuat program pendampingan yang terstruktur, bukan sekadar “senior mengajari junior”.
- Senior dipilih berdasarkan integritas, bukan popularitas.
- Mereka mendapat pelatihan terlebih dahulu tentang komunikasi sehat, empati, dan etika pendampingan.
- Program mentoring bisa mencakup penyesuaian lingkungan sekolah, teknik belajar, hingga konseling ringan.
Dengan begini, senioritas berubah menjadi wadah bimbingan yang benar-benar membantu.
2. SOP Anti-Kekerasan yang Tegas dan Transparan
Banyak kasus senioritas berbahaya terjadi karena tidak ada aturan yang jelas atau tidak ditegakkan.
- Sekolah perlu memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) formal tentang pencegahan dan penanganan kekerasan.
- Setiap laporan, sekecil apa pun, harus diproses secara profesional.
- Tidak boleh ada budaya “menutupi” demi menjaga nama baik sekolah.
Dengan SOP yang transparan, siswa tahu bahwa mereka dilindungi dan tindakan salah pasti ditindak.
3. Pengawasan Ketat di Area Rawan
Kasus intimidasi sering terjadi di tempat-tempat yang kurang diawasi.
- Koridor belakang, lapangan sepi, gudang ekskul, hingga ruang organisasi adalah titik rawan.
- Guru piket, staf keamanan, dan CCTV dapat ditempatkan strategis.
- Kegiatan ekskul atau rapat organisasi wajib memiliki pengawasan guru pendamping.
Langkah sederhana ini secara signifikan menurunkan potensi terjadinya penyalahgunaan senioritas.
4. Edukasi tentang Bullying Sejak Awal Tahun Ajaran
Pencegahan paling efektif adalah edukasi sejak dini.
- Materi tentang bullying, kekerasan verbal, psikologis, serta senioritas toxic perlu dijelaskan dari awal.
- Bisa melalui penyuluhan, seminar, film edukasi, atau roleplay anti-bullying.
- Siswa diberi pemahaman tentang apa itu batasan sehat, consent, dan power dynamics.
Saat siswa sadar bahwa “candaan senior” bisa masuk kategori kekerasan, budaya toxic mulai melemah.
5. Ruang Aman untuk Melapor Tanpa Takut Balas Dendam
Banyak korban diam karena takut dibalas oleh senior.
Sekolah juga membuat kebijakan anti-retaliasi agar pelapor mendapat perlindungan penuh.
Dengan ruang aman, korban maupun saksi berani bicara tanpa merasa terancam.
Sekolah perlu menyediakan kanal laporan anonim (kotak aduan, email khusus, hotline).
Identitas pelapor dijaga ketat.
BACA JUGA: Strategi Global Penanganan Bullying, Dari Kampanye Empati hingga Regulasi Ketat
FAQ Seputar Budaya Senioritas
1. Apakah semua bentuk senioritas itu buruk?
Tidak. Senioritas bisa positif jika fokus pada bimbingan dan pemberian contoh, bukan intimidasi.
2. Bagaimana cara membedakan senioritas dengan bullying?
Jika ada rasa takut, paksaan, hinaan, atau ancaman, itu bukan senioritas, itu bullying.
3. Apa yang harus Teman Eksam lakukan kalau mengalami senioritas negatif?
Laporkan ke guru BK, wali kelas, atau kanal pelaporan sekolah. Bukti (chat, video, saksi) sangat penting.
4. Apakah sekolah bisa dihukum jika membiarkan senioritas ekstrem?
Ya. Berdasarkan Permendikbud 82/2015, sekolah yang lalai dapat dikenai sanksi administratif.
5. Kenapa budaya senioritas sulit hilang?
Karena sudah diwariskan bertahun-tahun dan dianggap “normal”. Padahal dampaknya sangat merusak.
Mari Membangun Lingkungan Pendidikan yang Sehat!
Budaya senioritas di sekolah bisa jadi bentuk adaptasi, namun berpotensi besar berubah menjadi kekerasan terselubung jika tanpa pengawasan. Teman Eksam perlu memahami batasannya agar sekolah menjadi ruang aman, bukan tempat yang menakutkan. Jika lingkungan pendidikan ingin sehat, senioritas harus diganti dengan kultur mentoring, empati, dan kepemimpinan positif.
Yuk, temukan lebih banyak panduan praktis untuk belajar, bekerja, dan berkembang bareng Eksam – Teman Belajar Kamu!