Emotional Parenting, Cara Membesarkan Anak yang Cerdas Secara Emosi

Halo, Teman Eksam!

Di era sekarang, banyak orang tua fokus pada prestasi akademik anak, harus nilai bagus, ranking tinggi, lomba juara. Tapi, bagaimana dengan kemampuan anak untuk mengendalikan emosi, berempati, atau menghadapi kegagalan?

Jawabannya ada di konsep emotional parenting, yaitu cara membesarkan anak dengan menumbuhkan kecerdasan emosional (emotional intelligence), bukan hanya kemampuan intelektual. Artikel ini akan membahas mengenai emotional parenting dan bagaimana cara menerapkannya. Yuk, simak sampai akhir!

Apa Itu Emotional Parenting?

Teman Eksam harus tahu, sederhananya emotional parenting adalah pendekatan pengasuhan yang berfokus pada mengenali, menerima, dan membimbing emosi anak dengan empati dan kesadaran.

Konsep ini dikembangkan dari teori Dr. John Gottman, seorang psikolog keluarga yang meneliti hubungan antara cara orang tua merespons emosi anak dan perkembangan psikologis mereka.
Menurut Gottman, anak yang dibesarkan dengan gaya emotional parenting akan lebih:

  • Mudah mengelola stres
  • Mampu mengungkapkan perasaan dengan sehat
  • Lebih percaya diri
  • Memiliki hubungan sosial yang baik

“Anak yang didengar emosinya akan lebih mudah mendengarkan logika orang tuanya.” — John Gottman, 2017


Kenapa Emotional Parenting Penting di Zaman Sekarang?

Berdasarkan data WHO (2024), 1 dari 7 anak di dunia mengalami gangguan emosional atau mental ringan hingga sedang, seperti kecemasan, mudah marah, atau menarik diri dari lingkungan. Sementara itu, Kementerian Kesehatan RI (2024) melaporkan adanya peningkatan hingga 20% kasus anak dengan gejala stres dan kecemasan dalam lima tahun terakhir.

Fenomena ini menunjukkan bahwa pendekatan pengasuhan tradisional yang hanya berfokus pada disiplin atau prestasi akademik sudah tidak cukup. Anak zaman sekarang tumbuh dalam dunia yang serba cepat dan terbuka di mana tekanan sosial bisa datang bahkan dari layar ponsel mereka.

Itulah sebabnya, emotional parenting menjadi sangat penting. Anak-anak membutuhkan rumah yang terasa aman secara emosional, tempat di mana mereka bisa mengekspresikan perasaan tanpa takut dihakimi, dan belajar mengenali emosi mereka sendiri dengan bimbingan yang lembut.

Dengan menerapkan emotional parenting, orang tua tidak hanya membantu anak mengelola emosinya, tetapi juga membangun fondasi empati, percaya diri, dan ketahanan mental (resilience) yang akan berguna seumur hidup.


Prinsip Utama Emotional Parenting

Teman Eksam, agar pola asuh berbasis emosi bisa berjalan dengan efektif, ada lima prinsip dasar yang bisa mulai kamu terapkan di rumah:

1. Sadari Emosi Anak (dan Emosimu Sendiri)

Langkah pertama dalam emotional parenting adalah kesadaran diri (self-awareness). Sebelum membantu anak menenangkan diri, orang tua perlu memahami apa yang sedang dirasakannya sendiri. Misalnya, ketika kamu sedang lelah sepulang kerja dan anak mulai rewel, cobalah berhenti sejenak untuk menarik napas, lalu tanggapi dengan tenang.

Dengan begitu, anak belajar bahwa emosi tidak harus dikendalikan dengan teriakan, tapi bisa diatur dengan kesadaran. Menenangkan diri sebelum bereaksi juga mencegah rantai emosi negatif di rumah.


2. Validasi Perasaan Anak

Sering kali, orang tua secara refleks berkata, “Udah, jangan nangis,” atau “Cuma gitu aja kok sedih.” Padahal, kalimat seperti itu bisa membuat anak merasa perasaannya tidak penting. Sebaliknya, validasi emosi berarti mengakui bahwa apa yang anak rasakan itu nyata dan wajar. Contohnya:

“Mama tahu kamu sedih karena mainannya rusak. Wajar kok merasa kecewa. Yuk, kita cari cara biar kamu tenang dulu.”

Ketika anak merasa dipahami, ia akan lebih mudah terbuka dan belajar mengelola perasaan tanpa takut dihakimi.


3. Gunakan Emosi Sebagai Momen Mengajar

Setiap emosi yang muncul , entah itu marah, kecewa, cemas, atau takut — bisa menjadi momen belajar (teachable moment) bagi anak. Daripada hanya menenangkan atau menasihati, ajak anak berdialog tentang apa yang dia rasakan dan bagaimana cara mengatasinya. Contohnya:

“Kamu kecewa, ya, nilai ulanganmu turun? Itu wajar. Tapi Mama bangga kamu sudah berusaha. Menurut kamu, apa yang bisa diperbaiki di ujian berikutnya?”

Pendekatan ini membantu anak mengembangkan kesadaran emosional dan kemampuan berpikir reflektif.


4. Beri Batasan yang Jelas

Empati bukan berarti membiarkan anak melakukan apa pun yang ia mau. Anak tetap membutuhkan struktur dan batasan agar merasa aman dan memahami konsekuensi dari tindakannya. Perbedaannya, orang tua yang menerapkan emotional parenting menyampaikan aturan dengan nada lembut, bukan ancaman. Misalnya:

“Mama ngerti kamu masih mau main, tapi sekarang waktunya tidur. Besok kita lanjut lagi, ya.”

Dengan begitu, anak belajar bahwa disiplin bisa berjalan berdampingan dengan kasih sayang.


5. Jadilah Role Model Emosional

Anak belajar cara mengelola emosi bukan dari nasihat, tapi dari apa yang mereka lihat setiap hari.
Ketika orang tua mampu menenangkan diri, mengakui kesalahan, atau meminta maaf, anak akan meniru perilaku itu. Contohnya:

“Tadi Mama sempat marah, ya? Maaf, Mama juga lagi capek. Tapi Mama nggak seharusnya ngomong dengan nada tinggi.”

Dengan menjadi teladan emosional, orang tua sedang mengajarkan regulasi emosi melalui tindakan nyata, bukan hanya kata-kata.


Dampak Positif Emotional Parenting (Fakta & Data)

Penelitian menunjukkan bahwa penerapan emotional parenting memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan anak, baik secara emosional maupun akademik. Berdasarkan riset dari Harvard Graduate School of Education (2023), anak-anak yang mendapatkan pengasuhan berbasis empati memiliki kemampuan regulasi diri dua kali lebih tinggi dan risiko stres kronis 30% lebih rendah dibanding anak-anak yang tumbuh di lingkungan pengasuhan otoriter atau penuh tekanan emosional.

Sementara itu, studi dari University of Cambridge (2022) juga menemukan bahwa pola asuh emosional memiliki korelasi positif dengan prestasi akademik, hubungan sosial yang sehat, dan penurunan perilaku agresif. Anak yang merasa dipahami cenderung lebih fokus belajar karena tidak terbebani oleh kecemasan emosional.

Artinya, ketika orang tua mampu mendengarkan dan memahami perasaan anak, sistem saraf anak lebih stabil, dan mereka tumbuh dengan rasa aman secara psikologis. Mereka juga mampu menjalin pertemanan dengan lebih baik, karena terbiasa mengelola emosi dan berempati terhadap orang lain.

Dengan kata lain, emotional parenting bukan hanya tentang “mengasuh dengan perasaan,” tetapi membentuk fondasi psikologis yang kuat bagi anak. Anak yang tumbuh dengan empati, validasi, dan dukungan emosional akan lebih siap menghadapi tantangan hidup dengan cara yang sehat, stabil, dan penuh percaya diri.


Tips Praktis Emotional Parenting Sehari-hari

Teman Eksam bisa mulai menerapkan emotional parenting lewat langkah-langkah kecil yang sederhana tapi berdampak besar berikut ini:

1. Luangkan 10 Menit Setiap Hari untuk Mendengarkan Cerita Anak
Cukup duduk bersama tanpa distraksi, tanpa ponsel, tanpa televisi. Dengarkan cerita anak tentang hari mereka di sekolah, teman-teman, atau hal kecil yang mereka sukai. Bagi anak, perhatian penuh dari orang tua memberi rasa dihargai dan dicintai tanpa syarat.

2. Biasakan Bertanya “Kamu Lagi Ngerasa Apa Hari Ini?”
Pertanyaan sederhana ini membantu anak belajar mengenali dan menamai emosinya sendiri. Jika anak menjawab “nggak tahu,” bantu dengan pilihan: “Kamu lagi sedih, marah, atau capek?” Dengan begitu, anak belajar bahwa semua perasaan itu valid dan bisa diungkapkan.

3. Hindari Membandingkan Anak dengan Orang Lain
Kalimat seperti “Lihat tuh, Kakak bisa, masa kamu nggak?” justru bisa menurunkan rasa percaya diri anak. Fokuslah pada usaha dan proses mereka, bukan hasil akhir. Anak yang merasa diterima apa adanya akan lebih berani mencoba dan belajar dari kesalahan.

4. Gunakan Bahasa yang Menenangkan, Bukan Menyalahkan
Alih-alih berkata “Kamu selalu bikin Mama marah!”, ubah jadi “Mama kesal karena mainan belum dirapikan, yuk kita beresin bareng-bareng.” Bahasa yang lembut membantu anak memahami konsekuensi tanpa merasa diserang.

5. Peluk Anak Lebih Sering, Karena Sentuhan Itu Terapi
Sentuhan fisik seperti pelukan, elusan kepala, atau tepukan lembut di punggung bisa menurunkan kadar hormon stres (kortisol) dan meningkatkan hormon kebahagiaan (oxytocin). Anak yang sering mendapat pelukan tumbuh lebih tenang dan percaya diri.


BACA JUGA: Fenomena Hustle Culture, Apakah Bekerja Keras Selalu Benar?

FAQ Seputar Emotional Parenting

1. Apakah emotional parenting berarti membiarkan anak bebas berekspresi tanpa batas?
Tidak. Emotional parenting tetap memiliki batasan, tetapi dilakukan dengan empati, bukan dengan kemarahan atau ancaman.

2. Gimana kalau orang tua sendiri belum bisa mengontrol emosinya?
Mulailah dari kesadaran diri. Kenali kapan kamu merasa lelah atau marah, dan belajar untuk menenangkan diri sebelum berinteraksi dengan anak.

3. Apakah konsep ini bisa diterapkan di keluarga Indonesia yang masih cenderung otoriter?
Bisa! Emotional parenting tidak menghapus disiplin, hanya mengubah pendekatannya menjadi lebih hangat dan komunikatif.

4. Apakah anak yang dibesarkan dengan emotional parenting jadi manja?
Tidak. Justru mereka lebih mandiri karena diajarkan untuk memahami dan mengelola emosinya sendiri.

5. Sejak usia berapa anak bisa diajarkan kecerdasan emosional?
Sejak usia 2–3 tahun. Anak sudah mulai bisa mengenali emosi dasar seperti senang, sedih, dan marah, dan ini waktu yang ideal untuk mulai membimbing.


Anak Bahagia Tumbuh dari Orang Tua yang Peka Emosi

Teman Eksam, membesarkan anak bukan hanya soal memberi makan dan pendidikan formal. Lebih dari itu, anak butuh orang tua yang hadir secara emosional, yang bisa menjadi tempat aman untuk merasa, menangis, dan belajar mengenali diri.

Jadi, mulai dari sekarang berhenti menekan anak untuk selalu kuat, dan bantu mereka jadi manusia yang berani merasa. Karena anak yang cerdas secara emosi akan tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih berempati, stabil, dan bahagia.

Yuk, temukan lebih banyak panduan praktis untuk belajar, bekerja, dan berkembang bareng Eksam – Teman Belajar Kamu!

Leave a Comment