Halo, Teman Eksam!
Teman Eksam mungkin sudah sering dengar istilah quiet quitting, yaitu tren ketika seseorang bekerja “secukupnya saja” tanpa melebihi jobdesc. Bukan resign, bukan malas, tapi memilih menjaga batasan diri. Fenomena ini begitu besar hingga melahirkan istilah baru: Generasi Quiet Quitting.
Mengapa generasi ini muncul? Kenapa semakin banyak orang yang menolak budaya kerja “sampai tumbang”? Dan apakah quiet quitting itu hal buruk atau justru tanda evolusi cara bekerja yang lebih sehat? Yuk kita bahas dengan komprehensif.
Apa Itu “Generasi Quiet Quitting”?
Generasi Quiet Quitting adalah kelompok generasi muda, terutama Gen Z, yang tidak lagi ingin terjebak dalam budaya kerja tradisional seperti lembur tanpa dibayar, loyalitas buta, kerja di atas kapasitas mental, dan mengorbankan kesehatan demi performa.
Mereka tetap bekerja dengan baik, tetap memenuhi ekspektasi, tapi tidak lagi mau mengorbankan diri demi perusahaan. Quiet quitting bukan tentang menurunkan kualitas kerja. Quiet quitting adalah tentang batasan.
Fakta yang Harus Kamu Ketahui
fenomena ini bukan sekadar tren media, tetapi cerminan perubahan besar dalam budaya kerja modern. Data Gallup 2024 mencatat bahwa lebih dari 50% pekerja global kini termasuk kategori quiet quitters, yang berarti sebagian besar tenaga kerja memilih untuk bekerja sesuai kontrak tanpa memberikan performa ekstra yang tidak dibayar. Menariknya, negara-negara dengan jam kerja tinggi justru memiliki tingkat quiet quitting yang lebih besar, seolah menjadi bukti bahwa tekanan berlebihan dan ritme kerja yang tidak manusiawi hanya menciptakan kelelahan, bukan produktivitas.
Quiet quitting sendiri bukanlah tanda kemalasan atau menurunnya kinerja, melainkan penolakan terhadap beban tambahan tanpa kompensasi dan tanpa batasan yang jelas. Fenomena ini semakin kuat di kalangan Gen Z, generasi yang paling vokal dalam memperjuangkan work-life balance, kesehatan mental, dan lingkungan kerja yang manusiawi. Bahkan, penelitian menunjukkan bahwa perusahaan yang menghargai batasan, waktu personal, dan kesejahteraan karyawan memiliki tingkat retensi hingga 35% lebih tinggi, dibandingkan perusahaan yang mengharapkan “loyalitas ekstra” tanpa dukungan yang sepadan. Semua ini menegaskan bahwa quiet quitting bukan sekadar sikap diam-diam, tetapi sinyal sosial bahwa pekerja ingin hubungan kerja yang lebih adil, sehat, dan seimbang.
Kenapa Fenomena Quiet Quitting Semakin Besar?
1. Burnout Kolektif yang Tidak Tertangani
Riset Gallup menemukan bahwa 60% pekerja Gen Z mengalami gejala burnout sejak awal karier. Mereka memasuki dunia kerja di tengah pandemi, ketidakstabilan ekonomi, dan ekspektasi produktivitas tanpa batas.
2. Perubahan Nilai Hidup
Generasi ini lebih menghargai:
- kesehatan mental,
- waktu pribadi,
- keseimbangan hidup,
- pekerjaan yang selaras nilai diri.
Buat mereka, hidup bukan hanya “kerja → tidur → kerja”.
3. Trauma Budaya Kerja Toxic
Banyak Gen Z melihat orang tuanya bekerja keras hingga sakit, stres, bahkan burnout. Mereka belajar dari pengalaman generasi sebelumnya dan memilih tidak mengulang pola itu.
4. Era Digital + Informasi
Mereka melihat tren global, membaca studi psikologi kerja, dan lebih sadar tentang hak dan batas diri. Awareness-nya jauh lebih tinggi dibanding generasi sebelumnya.
Psikologi di Balik Quiet Quitting
Quiet quitting muncul bukan karena “malas”, tapi karena:
- Overload emosional.
Otak yang lama berada dalam mode stres kehilangan motivasi jangka panjang. - Detachment sebagai mekanisme bertahan.
Untuk menghindari burnout, otak memutus koneksi emosional dengan pekerjaan. - Kebutuhan otonomi.
Generasi muda lebih suka pekerjaan yang memberi kendali, bukan tekanan. - Krisis makna.
Banyak pekerja merasa perusahaan tidak lagi memberi penghargaan setimpal dengan effort mereka.
Dengan kata lain, quiet quitting adalah reaksi psikologis alami terhadap sistem kerja yang tidak manusiawi.
Dampak Quiet Quitting: Positif & Negatif
1. Dampak Positif
- Mengurangi kelelahan mental
- Membuat batasan hidup lebih sehat
- Meningkatkan kesadaran akan hak pekerja
- Mengurangi tekanan lembur
- Mendorong kultur kerja lebih manusiawi
2. Dampak Negatif
- Bisa menurunkan engagement tim jika tidak dikomunikasikan
- Produktivitas jangka panjang bisa stagnan
- Hubungan dengan atasan menjadi dingin
- Potensi karier bisa terhambat jika tidak seimbang
Kuncinya: Quiet quitting bukan harus dihindari, tapi harus dipahami dan dikelola dengan benar.
Bagaimana Generasi Quiet Quitting Tetap Produktif Tanpa Kehilangan Diri?
1. Tetapkan Batas Kerja Sehat
Hanya kerjakan tugas dalam jam kerja. Jangan merasa harus selalu siap 24/7.
2. Komunikasikan Kapasitas
Bicarakan beban kerja yang tidak masuk akal. Transparansi penting agar tidak terjadi miskomunikasi.
3. Fokus pada Kualitas, Bukan Jam Kerja
Kerja cerdas jauh lebih dihargai daripada kerja panjang tapi tanpa hasil jelas.
4. Bangun Sistem Ritme (Contoh: 90/30)
Keselarasan dengan ritme alami otak membuat energi lebih stabil dan produktivitas meningkat.
5. Jaga Ruang Pribadi
Pastikan ada waktu untuk hobi, istirahat, relasi sehat, dan eksplorasi diri. Work-life balance bukan kemewahan, tapi kebutuhan biologis.
Quiet Quitting vs Resign, Apa Bedanya?
| Aspek | Quiet Quitting | Resign |
|---|---|---|
| Status | Tetap bekerja | Berhenti |
| Motivasi | Mengurangi tekanan | Mencari peluang baru |
| Dampak | Menjaga energi mental | Perubahan besar |
| Fokus | Batasan diri | Keluar dari sistem |
Quiet quitting bukan jalan keluar dari pekerjaan buruk, tapi cara bertahan saat sistem tidak mendukung.
BACA JUGA: Fenomena Hustle Culture, Apakah Bekerja Keras Selalu Benar?
FAQ Seputar Generasi Quiet Quitting
1. Apakah Quiet Quitting berarti malas bekerja?
Tidak. Quiet quitting berarti bekerja sesuai jobdesc tanpa tambahan tidak dibayar.
2. Kenapa Gen Z paling banyak melakukan quiet quitting?
Karena mereka lebih sadar akan kesehatan mental dan menolak budaya kerja toxic.
3. Apakah quiet quitting merugikan perusahaan?
Hanya jika manajemen gagal memahami kebutuhan karyawan. Banyak perusahaan justru jadi lebih sehat karenanya.
4. Apakah quiet quitting buruk untuk karier?
Tidak jika dilakukan dengan batasan sehat. Buruk jika ekstrem hingga tidak peduli kualitas pekerjaan.
5. Bagaimana cara perusahaan mengatasi quiet quitting?
Dengan mendengarkan, memberi penghargaan setimpal, dan menciptakan lingkungan kerja manusiawi.
Mari Usahakan Membangun Lingkungan Kerja yang Sehat
Quiet quitting bukan hanya sekadar tren yang sedang terjadi. Ini adalah sinyal besar bahwa generasi kita butuh cara kerja baru yang lebih manusiawi, lebih sehat, dan lebih selaras dengan hidup yang bermakna.
Yuk, temukan lebih banyak panduan praktis untuk belajar, bekerja, dan berkembang bareng Eksam – Teman Belajar Kamu!