Halo, Teman Eksam!
Banyak dari kita yang baru bisa fokus, kreatif, dan produktif justru ketika waktu sudah mepet. Tugas menumpuk tidak dikerjakan sejak tiga minggu lalu, tapi begitu besok dikumpulkan, tiba-tiba otak langsung “ON.” Kenapa bisa begitu? Apa otak manusia memang bekerja lebih baik di bawah tekanan? Atau sebenarnya ini hanyalah efek psikologis akibat kebiasaan menunda? Yuk, kita bahas!
Fakta Menarik yang Harus Kamu Tahu
Sejumlah penelitian psikologi dan neurosains menunjukkan bahwa bekerja di bawah tekanan memang bisa meningkatkan performa, namun efek ini terutama berlaku untuk tugas kognitif jangka pendek. Dalam tugas-tugas seperti menulis laporan singkat, menyelesaikan pekerjaan administratif, atau menyiapkan presentasi, deadline dapat membuat seseorang bergerak lebih cepat dan efisien. Namun untuk pekerjaan kompleks yang membutuhkan pemikiran mendalam dan penyusunan strategi jangka panjang, tekanan justru berpotensi menurunkan kualitas hasil kerja karena otak tidak memiliki waktu cukup untuk mengeksplorasi ide dengan matang.
Meski demikian, deadline tetap memberikan satu dampak positif yang tidak bisa dipungkiri: otak menjadi jauh lebih fokus. Ketika waktu hampir habis, otak secara alami membuang gangguan-gangguan mental yang tidak relevan sehingga seseorang dapat bekerja tanpa terlalu banyak terdistraksi. Dalam kondisi ini, overthinking menurun dan energi mental terkonsentrasi pada penyelesaian tugas. Tidak heran banyak orang merasa jauh lebih produktif ketika sudah dekat waktu pengumpulan, meskipun sebelumnya kesulitan memulai.
Selain itu, riset juga menemukan bahwa orang dengan kecenderungan ADHD sering menjadi lebih produktif ketika berada dalam tekanan waktu. Hal ini terjadi karena level dopamin meningkat lebih tinggi saat mereka menghadapi tantangan yang sifatnya mendesak, sehingga memberikan dorongan motivasi tambahan. Namun meskipun bekerja mepet deadline bisa terasa efektif, terlalu sering mengandalkan stres untuk berfungsi optimal dapat melemahkan kreativitas dan meningkatkan risiko kelelahan mental dalam jangka panjang.
Otak Aktif Karena Lonjakan Hormon Stres
Pernah bingung kenapa tugas yang mandek berhari-hari tiba-tiba bisa selesai dalam beberapa jam ketika deadline sudah tinggal sebentar lagi? Ternyata fenomena ini bukan sekadar “ajaib”, tetapi ada penjelasan ilmiah dari sisi neuropsikologi dan reaksi tubuh manusia.
Saat seseorang berada dalam kondisi terdesak, tubuh memicu mode fight-or-flight, sebuah mekanisme evolusioner yang sudah ada sejak manusia purba untuk menghadapi ancaman fisik. Bedanya, kalau dulu ancamannya harimau di hutan, sekarang ancamannya “email bos” dan “deadline besok pagi.”
Apa yang terjadi di dalam otak?
1. Hormon Kortisol Meningkat
Mendekati tenggat waktu, otak secara otomatis melepaskan hormon stres, yaitu kortisol. Hormon ini memicu serangkaian respons fisik dan mental:
- detak jantung meningkat
- pernapasan menjadi lebih cepat
- kewaspadaan naik
- fungsi indera menjadi lebih intens
Dalam dosis yang tepat, kortisol justru bermanfaat, antara lain:
- mengurangi distraksi
- meningkatkan fokus secara drastis
- memaksa otak memutuskan lebih cepat
- mendorong kinerja seperti “darurat tapi jenius”
Itulah sebabnya pekerjaan yang terasa “tidak mungkin selesai” mendadak bisa beres dalam waktu sangat singkat. Kalau selama lima hari kita hanya dapat dua paragraf, saat H-1 kita bisa menulis 20 halaman skripsi dalam semalam, dan itu terasa normal saja.
2. Sistem Limbik “Menendang” Prefrontal Cortex
Di otak manusia, terdapat dua sistem besar yang berperan penting:
- Sistem limbik: pusat emosi, reaksi cepat, dan insting bertahan hidup
- Prefrontal cortex: pusat logika, strategi, pengambilan keputusan, dan pemecahan masalah
Ketika deadline dianggap sebagai “ancaman modern”, sistem limbik menekan tombol darurat dan memaksa prefrontal cortex bekerja lebih keras. Akibatnya:
- ide muncul lebih cepat
- pola pikir terasa lebih tajam
- kemampuan memecahkan masalah meningkat
- pikiran terasa lebih jernih meski badan capek
Itulah yang sering disebut banyak orang sebagai “mode turbo” otak, di mana kita merasa jauh lebih pintar daripada biasanya, dan sayangnya, hanya terjadi kalau kepepet.
3. Dopamin Juga Ikut Bermain
Stres bukan satu-satunya faktor. Ketika kita melawan waktu dan akhirnya berhasil menyelesaikan tugas sebelum tenggat, otak juga melepaskan dopamin, hormon yang berkaitan dengan:
- rasa puas
- sense of achievement
- motivasi
- euforia kemenangan kecil
Otak menyukai “hadiah kecil” (small rewards) ini. Karena itu, menyelesaikan pekerjaan di detik terakhir memberi sensasi menyenangkan seperti menang game level tinggi. Lama-kelamaan, tanpa disadari otak belajar:
“Eh, ternyata bekerja mepet itu bikin puas dan hasilnya bagus. Ulangi lagi!”
Tidak heran banyak orang yang akhirnya kecanduan deadline, bukan karena tidak mampu merencanakan waktu, tetapi karena otaknya sudah terbiasa bekerja optimal saat tertekan. Hasil akhirnya, sistem biologis kita bekerja luar biasa justru ketika dikejar waktu.
Bukan Hanya Otak, Tapi Pola Kebiasaan Manusia
Fenomena produktif saat kepepet ternyata bukan hanya persoalan sistem saraf dan hormon di otak, tetapi juga dipengaruhi pola kebiasaan dan perilaku manusia dari waktu ke waktu. Ada beberapa alasan psikologis dan perilaku yang menjelaskan kenapa kita cenderung “baru gerak kalau sudah mepet.”
1. Otak Suka Hemat Energi
Secara alami, otak manusia dirancang hemat tenaga dan hanya menggunakan fokus penuh ketika benar-benar diperlukan. Selama deadline masih jauh, otak merasa aman dan memilih menunda, menyimpan energi, atau meyakinkan diri bahwa “masih ada waktu.”
Namun begitu waktu semakin sempit dan ancaman terasa nyata, otak langsung beralih dari mode santai ke mode eksekusi penuh. Di fase ini, tubuh dan pikiran dipaksa bekerja lebih cepat dan lebih fokus karena otak menilai bahwa tidak ada pilihan lain selain menyelesaikan tugas sekarang juga.
2. Tekanan Membuat Fokus Meningkat
Menariknya, ketika waktu semakin sedikit, fokus justru semakin meningkat. Hal ini karena kita tidak lagi punya ruang untuk overthinking atau terganggu hal kecil. Prioritas menjadi lebih jelas, pikiran lebih terarah, dan energi mental hanya diarahkan ke satu tujuan: menyelesaikan tugas.
Banyak orang justru mendapatkan ide terbaik saat terdesak, misalnya ketika tiga jam sebelum presentasi atau ketika artikel harus segera dikirim. Tekanan bekerja seperti pemutus kebisingan mental yang membuat otak hanya berjalan di satu jalur pikiran yang paling penting.
3. Procrastination Reward Loop
Banyak orang terbiasa bekerja mepet karena pengalaman masa lalu mengajarkan bahwa cara ini berhasil. Sejak sekolah atau kuliah, mungkin kita sering mengerjakan tugas malam sebelum dikumpulkan, belajar mendadak sebelum ujian, dan tetap mendapatkan nilai baik. Setiap kesuksesan last minute memberi rasa lega dan puas, memicu dopamin, dan membuat otak menyimpulkan bahwa menunda bukan masalah.
Akhirnya, kebiasaan ini terbawa sampai dewasa dan dianggap sebagai strategi yang efektif, meski secara jangka panjang melelahkan, menurunkan kualitas kerja, meningkatkan stres, dan memicu burnout. Sampai kebiasaan diputus secara sadar, otak akan terus percaya bahwa “kepepet = hasil bagus.”
Risiko Jika Terlalu Sering Mengandalkan Deadline
Teman Eksam, bekerja maksimal saat kepepet memang terasa hebat, tetapi mengandalkan tekanan terus-menerus bukan strategi yang sehat dalam jangka panjang. Pada awalnya tubuh mampu menanggung lonjakan hormon stres dan adrenalin, namun jika dilakukan terlalu sering, tubuh akan “menagih harga” yang cukup berat. Beberapa dampak negatifnya adalah:
- Kortisol berlebih merusak memori jangka panjang
Kortisol yang terus naik membuat hippocampus (bagian otak yang menyimpan ingatan) menurun fungsinya. Semakin sering kerja di bawah tekanan, semakin sulit menyerap dan menyimpan informasi baru. - Tubuh jadi mudah lelah
Sistem saraf dipaksa bekerja seperti “mode darurat” terlalu sering. Akibatnya, energi mudah habis, stamina menurun, dan aktivitas sehari-hari terasa lebih berat. - Tidur terganggu
Banyak orang yang terbiasa mengerjakan tugas last minute akhirnya mengalami overthinking saat malam. Tubuh masih memproduksi hormon stress padahal sudah waktunya istirahat, sehingga tidur sulit nyenyak, dan kualitasnya menurun. - Kualitas kerja pelan-pelan menurun
Mungkin dulu hasil kerja mepet tetap bagus. Tapi semakin sering dilakukan, banyak detail terlewat, ide sulit berkembang, dan penyelesaiannya pun menjadi lebih terburu-buru. - Memicu burnout
Burnout muncul ketika tubuh dan pikiran bekerja tanpa ruang pulih. Bukan hanya lelah fisik, tapi juga kosong secara mental, hilang motivasi, dan kehilangan semangat untuk berkarya.
Lebih jauh lagi, bekerja hanya saat terdesak membuat otak kehilangan waktu untuk bereksplorasi, padahal kreativitas membutuhkan ruang bernapas. Jika hidup selalu kejar-kejaran dengan deadline, otak jadi sibuk “memadamkan kebakaran” dan tidak punya kesempatan untuk mencari ide baru, dan mengolah perspektif. Performa memang terlihat tajam saat kepepet, tapi kapasitas kreatif secara perlahan menurun.
Bagaimana Biar Tidak Selalu Produktif “Last Minute”?
Kita tidak bisa memaksa otak langsung berubah, tapi kita bisa mengatur lingkungan agar memicu respons yang lebih sehat. Berikut beberapa strategi untuk mengakalinya:
1. Ciptakan Deadline Buatan
Kalau otak hanya bergerak ketika ditekan, maka ciptakan tekanan kecil yang terkontrol. Misalnya:
- timer 25–45 menit ala Pomodoro
- pasang tanggal kerja lebih awal daripada deadline asli
- buat alarm untuk sesi kerja singkat
Tekanan kecil ini memunculkan hormon stres dalam kadar rendah, cukup untuk memicu fokus tanpa merusak tubuh. Otak tetap merasa “terdorong” meski situasi belum benar-benar genting.
2. Gunakan Metode Mini–Breakdown
Banyak orang menunda bukan karena malas, tapi karena tugasnya terasa besar dan menakutkan. Maka pecah menjadi langkah kecil, misalnya bukan “Tulis skripsi”, tapi cari 3 referensi, buat 5 poin teoritis, tulis pendahuluan 1 paragraf, kemudian revisi hari berikutnya. Pecah tugas besar menjadi 10–20 target kecil dengan mini-deadline harian. Saat tugas tampak kecil dan jelas, otak lebih mudah memulai dan tidak perlu menunggu kepepet.
3. Buat “Ritual Mulai”
Banyak orang menunggu mood datang baru mulai bekerja. Padahal di dunia produktivitas, mood bukan syarat memulai, justru mood muncul setelah memulai. Maka buat ritual sederhana sebelum bekerja. Misalnya menyeduh teh atau kopi, duduk tenang 10 menit, dan tulis 3 kalimat pertama. Ritual sederhana ini akan memberi sinyal pada otak:
“Sekarang waktunya bekerja.”
Kalau sudah mulai, biasanya aliran kerja akan mengikuti dengan sendirinya.
BACA JUGA: Menulis Buku Harian, Apakah Membantu Refleksi Diri?
FAQ Seputar Deadline
1. Apakah terbukti secara ilmiah otak lebih fokus saat deadline?
Ya, tekanan waktu meningkatkan kortisol yang dalam jumlah moderat justru meningkatkan fokus dan konsentrasi.
2. Apakah bekerja mepet selalu buruk?
Tidak selalu. Untuk tugas tertentu, tekanan dapat meningkatkan performa. Namun jika dilakukan terus-menerus, efeknya bisa buruk untuk kesehatan mental.
3. Kenapa banyak orang justru lebih kreatif saat mepet?
Karena otak membuang distraksi mental dan memaksa fokus pada solusi, bukan pemikiran yang terlalu luas.
4. Apakah ini tanda malas?
Tidak sepenuhnya. Ini lebih menunjukkan bahwa otak ingin hemat energi dan hanya memasuki mode kerja optimal saat ada tekanan.
5. Bagaimana agar tidak selalu produktif last minute?
Gunakan teknik seperti deadline buatan, pembagian tugas kecil, timer fokus, atau ritual mulai agar otak bisa aktif tanpa harus menunggu panik.
Idealnya Adalah Memanfaatkan Deadline Sebagai Motivasi
Jadi, Teman Eksam, alasan otak kita baru aktif saat dikejar deadline adalah kombinasi dari lonjakan hormon stres seperti kortisol, peningkatan dopamin dan kebiasaan yang dipelihara sejak lama.
Deadline bukan musuh, tapi alarm biologis yang memaksa otak masuk mode performa tinggi. Namun terlalu sering mengandalkan stres juga berisiko. Idealnya, kita memanfaatkan efek deadline tanpa harus selalu menunggu kepepet.
Yuk, temukan lebih banyak panduan praktis untuk belajar, bekerja, dan berkembang bareng Eksam – Teman Belajar Kamu!