Halo, Teman Eksam!
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sedang mengkaji wacana mengembalikan kebijakan sekolah 6 hari. Ide ini bukan cuma wacana kosong, pemprov sudah melibatkan akademisi dan elemen masyarakat dalam kajiannya. Tapi, seperti kebijakan besar lainnya, wacana ini menimbulkan kontroversi. Mari kita bongkar alasan di baliknya, pro dan kontra yang muncul, serta potensi konsekuensinya jika benar diterapkan. Yuk, kita bahas!
Kenapa Pemprov Jateng Mau Kembali ke 6 Hari Sekolah?
1. Pengawasan Anak Lebih Baik
Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin, menjelaskan bahwa keputusan untuk mengkaji kembali sistem enam hari sekolah didasarkan pada situasi sosial nyata di masyarakat. Banyak orang tua, terutama pekerja sektor industri, retail, dan layanan publik, bekerja 6 hingga 7 hari dalam seminggu. Akibatnya, ketika sekolah libur di hari Sabtu, banyak anak tidak mendapatkan pengawasan memadai di rumah.
Dalam konteks ini, Sabtu dianggap bukan sekadar tambahan hari belajar, tetapi “hari aman” di mana guru dan sekolah ikut mengambil peran menjaga anak tetap berada dalam lingkungan terarah. Pemerintah melihat bahwa sekolah dapat membantu mencegah anak terlibat dalam:
- Nongkrong tidak terkontrol,
- Lingkungan sosial berisiko,
- Kenakalan remaja,
- Penggunaan gadget tanpa batas.
Dengan demikian, kebijakan 6 hari sekolah bukan semata menambah jam pelajaran, tetapi memperluas fungsi sosial sekolah sebagai tempat pembinaan dan pendampingan.
2. Meningkatkan Keamanan dan Disiplin
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah juga melibatkan akademisi dan pakar pendidikan untuk mengkaji dampak kebijakan enam hari sekolah terhadap pembentukan karakter. Dari hasil sementara, sekolah enam hari dinilai bisa mendukung pembiasaan disiplin pada siswa, terutama pada jenjang SMP dan SMA yang rentan terhadap pengaruh sosial luar sekolah.
Kebijakan ini dipandang dapat mempertegas rutinitas harian, di mana siswa:
- Memiliki struktur waktu yang jelas,
- Lebih terkontrol aktivitasnya,
- Lebih fokus belajar,
- Terbiasa hidup disiplin dan terarah.
Bagi pemerintah daerah, sekolah bukan hanya tempat akademik, tapi sarana pembangunan karakter dan tambahan satu hari sekolah dianggap bisa menguatkan proses itu, terutama di daerah dengan tingkat kerawanan sosial tinggi.
3. Menyesuaikan dengan Realitas Sosial
Salah satu argumen Pemprov Jateng adalah kenyataan bahwa keluarga modern semakin sibuk. Banyak orang tua pulang sore atau malam dan tidak memiliki waktu untuk memantau kegiatan anak secara langsung. Pada model lima hari sekolah, Sabtu dianggap sebagai “hari kosong”: tidak sekolah, tetapi juga sering tanpa pendampingan orang tua.
Dengan kembali ke enam hari sekolah, pemerintah berharap anak-anak tetap berada di lingkungan yang positif dan produktif. Ini penting mengingat sekolah juga berfungsi sebagai ruang:
- Interaksi sosial sehat,
- Pembinaan perilaku,
- Kegiatan ekstrakurikuler,
- Pengembangan minat bakat.
Dengan kata lain, adaptasi ini bukan soal memperpanjang jam belajar, tetapi menyesuaikan pola hidup pendidikan dengan pola hidup keluarga modern yang sibuk bekerja.
4. Evaluasi dan Partisipasi Publik
Penting dicatat bahwa kebijakan ini belum final. Pemerintah Jawa Tengah masih menghimpun masukan dari berbagai pihak, mulai dari orang tua, pakar pendidikan, organisasi guru, hingga legislatif daerah. Kepala Disdikbud Jateng menegaskan bahwa kajian ini masih berjalan dan keputusan akhir akan diambil setelah evaluasi komprehensif.
Proses ini menunjukkan bahwa pemerintah:
- Tidak ingin mengambil keputusan sepihak,
- Mengedepankan data dan pertimbangan akademis,
- Menghargai aspirasi masyarakat luas.
Sehingga, sistem enam hari sekolah masih terbuka untuk berubah tergantung hasil diskusi publik dan penilaian dampaknya.
Apa Risiko & Penolakan dari Guru dan Siswa?
Penolakan dari PGRI Jateng
Penolakan paling kuat datang dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Tengah. Ketua PGRI Jateng, Muhdi, menilai bahwa wacana kembali ke sistem enam hari sekolah merupakan langkah mundur dalam dunia pendidikan daerah.
Ia menjelaskan bahwa perubahan ke sistem lima hari beberapa tahun lalu bukan keputusan spontan, tetapi merupakan hasil kajian panjang yang mempertimbangkan banyak aspek. Seperti kondisi psikologis siswa dan guru, keseimbangan kehidupan keluarga, pengurangan tekanan kerja, serta penyesuaian terhadap pola hidup modern masyarakat.
Menurutnya, kembali ke enam hari sekolah berarti mengabaikan kemajuan yang sudah dicapai dan membawa potensi masalah baru. PGRI menyoroti bahwa peningkatan kualitas pendidikan tidak selalu berhubungan dengan memperpanjang waktu berada di sekolah, melainkan meningkatkan efektivitas pembelajaran.
Beban Tambahan untuk Guru
Keluhan juga datang dari para guru di lapangan. Seorang guru di Semarang menyampaikan bahwa jika Sabtu dijadikan kembali sebagai hari masuk sekolah, pembagian beban kerja akan menjadi tidak seimbang. Guru mata pelajaran dan guru yang terlibat langsung dalam pembelajaran harus hadir, sementara pegawai struktural bisa tetap libur.
Hal ini dapat memunculkan ketidakadilan struktural dan berdampak pada meningkatnya kelelahan fisik dan mental guru, tambahan tugas administrasi dan evaluasi pembelajaran, serta semakin sedikit waktu pribadi dan kesempatan untuk meningkatkan kompetensi diri.
Banyak guru merasa bahwa beban saat ini saja sudah berat, termasuk kurikulum merdeka, sistem pelaporan digital, asesmen berkala, dan tuntutan profesional lain. Menambah satu hari sekolah tanpa solusi manajemen kerja dianggap dapat memperburuk kualitas kesehatan mental dan performa mengajar.
Siswa Juga Menyampaikan Keberatan
Penolakan bukan hanya datang dari pendidik, tetapi juga dari kalangan siswa. Beberapa siswa SMA dan SMP menilai bahwa baik lima hari maupun enam hari sekolah sebenarnya sama-sama punya durasi belajar yang padat. Namun dengan sistem lima hari, mereka masih punya waktu untuk istirahat lebih lama, mengikuti kegiatan hobi atau organisasi non-sekolah, bersosialisasi di luar kurikulum formal, serta mempersiapkan diri menghadapi pekan berikutnya.
Seorang siswa dari SMAN 11 Semarang mengatakan bahwa menambah satu hari sekolah tidak otomatis menambah hasil belajar, justru mengurangi waktu pemulihan tubuh dan pikiran. Jika siswa terlalu lelah, fokus belajar menurun, dan ini bisa berpengaruh pada prestasi akademik secara jangka panjang.
Guru Butuh Waktu untuk Keluarga
PGRI menegaskan bahwa guru juga manusia yang memiliki kehidupan pribadi. Akhir pekan adalah ruang bagi guru untuk menata diri dan keluarga setelah lima hari penuh mengajar. Banyak guru menggunakan akhir pekan untuk menghabiskan waktu bersama anak, melakukan perawatan mental, maupun menyelesaikan pekerjaan domestik yang sulit dilakukan pada hari kerja.
Menambah hari sekolah berarti mengurangi kualitas hidup guru, dan jika guru tidak berada pada kondisi terbaiknya, proses belajar-mengajar tentu ikut terdampak.
BACA JUGA: Kurikulum Pendidikan di Finlandia, Negara dengan Sistem Pendidikan Terbaik
Perspektif Akademisi & Masyarakat: Ada Plus, Ada Minus
Akademisi Universitas An Nuur Purwodadi
Di sisi lain, tidak semua pihak menolak. Seorang dosen dari Universitas An Nuur Purwodadi berpendapat bahwa enam hari sekolah masih memiliki manfaat jika dikelola dengan tepat. Ia mencontohkan beberapa sekolah swasta di Grobogan yang tetap menggunakan sistem enam hari dan merasakan dampak positif.
Menurutnya, sistem enam hari dapat:
- menjaga siswa tetap aktif dan terstruktur,
- mencegah aktivitas kosong yang kurang terarah di rumah,
- memberikan ruang lebih luas untuk pembinaan karakter,
- menyediakan waktu untuk kegiatan non-akademik seperti seni, pramuka, keagamaan, atau pengembangan bakat.
Bagi akademisi ini, persoalan bukan pada jumlah hari sekolah, tetapi bagaimana sekolah mengisi hari itu dengan kegiatan yang mendukung perkembangan anak secara menyeluruh.
Kajian Masih Terbuka
Sekretaris Daerah Jawa Tengah, Sumarno, menegaskan bahwa kebijakan ini belum final. Pemerintah masih dalam fase kajian dan pengumpulan masukan dari masyarakat, dewan pendidikan, akademisi, orang tua, serta organisasi profesi seperti PGRI.
Keterbukaan ini menunjukkan bahwa pemerintah ingin mengambil keputusan secara demokratis dan berbasis data, bukan berdasarkan pendapat sepihak. Keputusan akhir akan menimbang:
- efektivitas pendidikan,
- kondisi sosial masyarakat,
- kesejahteraan guru dan siswa,
- dampak lingkungan keluarga.
Kebijakan Pemda, Bukan Pemerintah Pusat
Klarifikasi juga datang dari Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, yang menegaskan bahwa aturan jumlah hari sekolah bukanlah kebijakan dari pusat, tetapi wewenang daerah. Pemerintah pusat hanya mewajibkan total jam belajar per minggu sesuai standar nasional, sedangkan daerah berhak menyesuaikan pelaksanannya.
Artinya:
- Sekolah lima hari dan enam hari sama-sama sah,
- Yang terpenting adalah kualitas dan durasi pembelajaran terpenuhi,
- Daerah bisa membuat kebijakan sesuai karakter sosial masing-masing.
Dalam konteks ini, keputusan Jateng, apapun nanti hasilnya merupakan manifestasi otonomi daerah dalam mengelola pendidikan sesuai kebutuhan warganya.
Mari Selalu Bijak dalam Membuat Keputusan
Teman Eksam, wacana 6 hari sekolah di Jateng bukan sekadar isu administratif, melainkan akan menyentuh berbagai aspek, seperti pengawasan anak, beban belajar, kesejahteraan guru, hingga dinamika rumah tangga.
Jika benar diterapkan, kebijakan ini bisa membantu menjaga anak-anak tetap dalam lingkungan sekolah yang “terpantau”, terutama orang tua yang sibuk. Tapi di sisi lain, tenaga pendidik dan siswa khawatir akan kelelahan, kehilangan waktu istirahat, dan potensi “penurunan kualitas waktu luang”. Sekarang tergantung bagaimana pemprov mengkaji masukan dari semua elemen: siswa, orang tua, guru, dan akademisi. Karena keputusan ini bisa berdampak besar pada keseharian anak muda Jateng.
Yuk, temukan lebih banyak panduan praktis untuk belajar, bekerja, dan berkembang bareng Eksam – Teman Belajar Kamu!